Minggu, 24 Maret 2013

Kasus Bank Century, PT GNU Bantah Lakukan Pencucian Uang

Headline 
Metrotvnews.com, Jakarta: Tim Pengawas Kasus Bail Out Bank Century mengundang Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, perwakilan Yayasan Fatmawati serta Direktur Utama PT Graha Nusa Utama (GNU) Toto Kuntjoro, Direktur PT Nusa Utama Sentosa (NUS) Johanes Sarwono yang sudah dijadikan tersangka atas dugaan kasus pencucian uang hasil penggelapan dana Bank Century oleh Robert Tantular.

Timwas mengundang empat pihak tersebut karena menemukan adanya kejanggalan dan indikasi aliran dana dari Robert Tantular ke Yayasan Fatmawati melalui PT GNU dan PT NUS.

Namun demikian, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (20/3), Toto menegaskan tidak ada kaitan antara perusahaan yang dipimpinnya dan tersangka kasus Bank Century Robert Tantular.

"Yang disampaikan bahwa ada aliran dana Century dengan GNU tidak ada kaitannya. Hubungan saya dengan Robert Tantular sebatas hubungan pribadi," kata Toto.

Sebelumnya, Timwas Century menduga aset PT GNU dan PT NUS yang didapatkan dari kerja sama operasional dengan Yayasan Fatmawati merupakan hasil kejahatan pencucian uang Robert Tantular dari dana nasabah PT Antaboga Delta Sekuritas.

Toto mengatakan, dirinya memang meminjam sejumlah dana sebesar Rp25 miliar pada 2003 silam dari Robert. Dana tersebut masuk ke rekening PT GNU dan sudah dikembalikan 2006.

Uang pinjaman dari Robert Tantular tersebut dipergunakan untuk memenuhi kerja sama operasional dengan Yayasan Fatmawati.

"Yang saya pinjam dari Robert Tantular seluruhnya sudah saya kembalikan pada 2006, karena saya mendapatkan pinjaman dari pihak lain," kata Toto.

Sementara itu, Sarwono yang diberikan mandat oleh Yayasan Fatmawati untuk mencari investor menjelaskan, permasalahan antara PT GNU-PT NUS dan Yayasan Fatmawati hanya masalah perdata dan tidak mengetahui mengenai kejahatan perbankan yang dilakukan Robert Tantular.

"Kami yang melaporkan Yayasan Fatmawati karena menjual tanah dua kali. Tapi malah kami yang ditangkap dan dituduh melakukan tindak pencucian uang hasil kejahatan Robert Tantular," kata Sarwono.

Ia menegaskan, uang hasil pinjaman dari Robert Tantular pada 2003 silam, sudah habis dan dipergunakan untuk pembangunan kamar mayat, masjid dikawasan RS Fatmawati dan biaya operasional.

"Yang disita hanya Rp 20 miliar, kenapa bangunan dan lainnya tidak disita? Silakan disita kalau ada apa-apa," kata Sarwono.

Permasalahan bertambah pelik ketika PT GNU-PT NUS diakuisisi PT Ancora Land yang diduga milik Gita Wirjawan. Belakangan Gita sendiri sudah membantahnya.

Pembelian saham PT Ancora dinilai janggal. Pasalnya, nilai pembelian saham jauh di bawah nilai aset yang dimiliki PT GNU-PT NUS yang mengelola operasional dari Yayasan Fatmawati.

"Buat saya ini janggal. Ada perusahaan (PT GNU) yang memiliki aset Rp2,2 triliun, menjual 51% sahamnya ke Ancora hanya dengan Rp5,1 miliar," kata anggota Timwas dari Fraksi Partai Golkar Nudirman Munir.

Gita Wirjawan sendiri membantah kepemilikannya di PT Ancora Land baik secara langsung maupu tidak langsung. Namun, ia mengaku bertanggung jawab secara moral karena dirinya pernah berada di Grup Ancora.

"Sewaktu saya masuk pemerintahan saya telah mendelegasikan kepemilikan saya dan kapasitas managerial terkait Grup Ancora," kata Gita.

Gita juga membantah pemberitaan bahwa dirinya memiliki saham dalam perusahaan tersebut.

"Terkait dengan pemberitaan yang diangkat dalam beberapa waktu ini terkait dengan perusahaan Ancora Land saya tidak ada kepemilikan secara langsung ataupun tidak langsung," tegasnya.

Ia juga menjelaskan, dalam deal pengambilalihan aset, saham, bisnis atau apapun, selalu ada risiko.

"Kalau kita telusuri cerita Sarwono dan Totok gambarannya pada tahun 2003 tidak seindah yang dibayangkan," kata Gita.

Gita meminta agar timwas tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. "Saya sangat menghormati asas praduga tidak bersalah. Saya sangat mengaspirasikan penegakan hukum lebih tegak," kata Gita.

Timwas Century sendiri menuding pencucian uang dilakukan Robert Tantular melalui pembelian aset Yayasan Fatmawati yang diantaranya adalah rumah sakit Fatmawati dan lapangan golf seluas 22,8 hektare di sampingnya.

Pada 2003 tanah Yayasan Fatmawati senilai Rp65 miliar, sementara harga ditahun 2013 diperkirakan mencapai sekitar Rp2 triliun.

"Legal due diligence sudah dilakukan Ancora. Dua konsultan diberdayakan dan mereka mengatakan tidak ada masalah dengan tanah itu," kata Gita.

Ia menegaskan, dirinya dan Ancora sudah terlalu dikait-kaitkan dengan kasus Century dan aliran dana Antaboga.

"Nama Ancora dan saya sudah terlalu berlebihan dikait-kaitkan atas suatu kasus yang belum tuntas," kata Gita.

Anggota timwas Century Bambang Soesatyo dalam berbagai kesempatan menuding PT Ancora, PT GNU dan PT NUS melakukan pencucian uang dengan membeli aset milik Yayasan Fatmawati.

Menurutnya, PT Ancora seharusnya tahu kalau PT GNU menerima dana hasil kejahatan Robert Tantular.

Sementara anggota Timwas Century dari Fraksi Partai Demokrat Achsanul Qosasi, mengaku sampai saat ini masih belum menemukan adanya kesalahan Gita dalam kasus itu.

"Saya menunggu, mencari-cari dimana keterlibatan kawan saya yang juga calon ketua umum Partai Demokrat Gita Wiryawan ini. Saya jujur sampai saat ini masih mencari di mana kesalahannya," katanya.

Achsanul dan timwas lainnya sepakat untuk mengadu data-data yang dimiliki penyidik kasus Century dan data milik Ancora serta PT GNU, PT NUS dan Yayasan Fatmawati dipertemuan berikutnya.

Di sisi lain, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Eddy OS Hiariej menilai tudingan timwas Century DPR RI atas tindak pidana pencucian uang yang dilakukan PT Ancora Land salah kaprah.

Menurutnya, timwas tidak bisa melihat dengan jernih dua ranah hukum yang berbeda yakni pidana dan perdata.

"Apa yang dialami oleh Ancora Land merupakan suatu kesesatan fakta yang merupakan tipe adagium 'tiada pidana tanpa kesalahan' sebagai salah satu alasan penghapus pidana," kata Eddy secara terpisah.

Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Ancora Land merupakan kebijakan bisnis murni yang berada pada ranah perdata atau 'business judgement rule'.

Eddy menambahkan, saat Ancora melakukan kesepakatan akuisisi saham pada tahun 2008, tidak ada proses hukum terhadap PT GNU.

"Tidak selamanya kesengajaan dalam hukum pidana dapat dijatuhi pidana jika terdapat kesesatan di dalamnya," kata Eddy.

Sumber : http://www.metrotvnews.com/mobile-site/read/news/2013/03/20/139999/Timwas-Century-Gagal-Temukan-Aliran-Dana-Robert-Tantular

Penyitaan Rp 20 M Yayasan Fatmawati Disoal Pengacara

Jakarta, GATRAnews - Penyitaan dana Rp 20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati oleh penyidik Mabes Polri, disoal kuasa hukum terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin, dalam peridangan lanjutan kasus sengkarut penjualan tanah Yayasan Fatmawati.
"Atas dasar apa sodara menyita dana Rp 20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati? Padahal uang dari PT Graha Nusa Utama (GNU) sudah habis dibelanjakan untuk keperluan yayasan, yakni membangun asrama perawat, kamar jenazah, dan membangun RS RP Soeroso," kata Hermawi Taslim, anggota tim kuasa hukum, kepada pelapor sekaligus penyidik Polri yang menyidik kasus ini, Hartono, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa petang (19/3).
Hartono mengaku, meski tidak bisa memastikan uang yang disita dari rekening Yayasan Fatmawati tersebut merupakan dana yang masuk dari PT GNU yang dananya diduga berasal Robert Tantular, namun pihaknya merasa dana itu patut diduga merupakan hasil dari tindak pencucian uang.
"Kami ketahui ada dana Rp 20 miliar di rekening Fatmawati dan patut diduga, itu hasil dari perputaran uang PT GNU," jawab Hartono di depan majelis hakim yang dipimpin Bagus Irawan.
Tak puas dengan jawaban tersebut, Hermawi kembali mempertanyakan uang yang masuk ke Yayasan Fatmawati dari PT GNU yang dipimpin Toto Kuncoro sebesar Rp 25 miliar yang masuk dalam rentang waktu 2003, 2004, dan 2005. Sedangkan berdasarkan pengakuan sejumlah saksi dalam Berita Acara Pidana (BAP), uang sejumlah itu sudah habis dibelanjakan oleh Yayasan Fatmawati termasuk untuk membangun RS Soeroso.
"Rp 25 miliar itu sudah habis untuk bangun RS Soeroso, dan dibelanjakan oleh Yayasan Fatmawati pada bulan Mei 2012, kemudian disita Rp 20 miliar pada 11 Juni 2012, ini tidak nyambung," cetus Taslim.
"Patut diduga terkait dana dari Robet Tantular yang dialirkan melalui Toto. Ada duit di situ, maka kami sita. Selain itu, PT GNU tidak ada kegiatan, tapi mempunyai aset yang sangat besar," jawab Hartono.
Mendapat jawaban tersebut, anggota tim kuasa hukum lainnya, Haryo Budi Wibowo mempertanyakan kenapa penyidik tidak menyita RS Soeroso karena uang tersebut di antaranya digunakan untuk membangun RS ini.
"Kami hanya menyita uang itu karena patut diduga dari hasil kegiatan yang sumber dananya dari Robet Tantular yang dialirkan kepada Toto, kemudian ke Yayasan Fatmawati," jawab Hartono.
Meski terasa janggal dengan penyitaan barang bukti tersebut, Taslim dan tim kuasa hukum tidak bisa bertanya lebih jauh karena saksi hanya menjawab uang sebesar itu disitan karena patut diduga dari hasil perputaran uang yang telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. "Ini tidak masuk logika," ungkap Taslim.
Bagus menimpali, nanti kita kroscek dengan saksi-saksi lainnya. "Nanti kita periksa dari saksi-saksi lainnya," ujarnya.
Terdakwa Yohanes Sarwono yang mengaku kerberatan dengan saksi yang pernah menyidiknya, langsung menyatakan keberatan saat Ketua Majelis hakim, Bagus Irawan meminta tanggapan terdakwa.
"Saya keberatan, karena tadi dinyatakan saya tidak mengajukan bukti rincian penggunaan dana tersebut, padahal saya sudah menyerahkannya dan meminta penyidik memeriksa saksi-saksi lain. Tapi penyidik tidak memeriksanya," kata Yohanes.
Mendapat sanggahan tersebut, kemudian Hakim Bagus menanyakan kepada saksi Hartono, apakah masih pada keterangannya. "Saya masih pada keterangan saya, karena ketiga terdakwa tidak menyerahkan bukti, mereka hanya memberikan aliran dana saja.  Kemudian, beberapa saksi yang diminta diperksa tidak dihadirkan, karena yang diperisa hanya yang mempunyai bukti dan berkas sudah dinyatakan P21, dan terlanjur dilimpahkan," paparnya.
Sedangkan saat ditanya kenapa penyidik tidak memeriksa PT Meka Elsa karena Yayasan Fatmawati menjual kembali tanah itu ke perusahaan ini setelah sebelumnya menjual ke PT GNU, Hartono menjawab, karena tidak mengetahui ada penjualan tersebut. "Saya tidak tahu," ujarnya.
Usai persidangan, Jaksa Penuntut Umum Mustofa menilai, seharusnya penyitaan uang sebesar itu dipertanyakan dalam sidang pra peradilan untuk mengetahui sah tidaknya penyitaan uang sebesar Rp 20 miliar itu.
"Kan pra peradilan di antaranya untuk menguji sah tidaknya penyitaan bukti dan penahanan. Seharusnya diajukan di pra peradilan kalau mau," jawabnya saat dimintai tanggapan.
Sementara itu, Taslim menegaskan, uang dari PT GNU telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati sesuai keterangan saksi yang pernah diperiksa, di antaranya, berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Yayasan Fatmawati, Mutia Prihatini. Ia menyebut, penyitaan tersebut adalah rekayasa bukti palsu.
"Dia menyebutkan, dana tersebut sudah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. Jadi bagaimana bisa menyita uang yang sudah habis dibelanjakan?" pungkasnya.
Dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, oleh jaksa penuntut umum Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain itu, Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Sumber : http://www.gatra.com/hukum/26482-penyitaan-rp-20-m-dari-yayasan-fatmawati-disoal-kuasa-hukum.html

Penyitaan Rp 20 M dari Yayasan Fatmawati Dianggap Direkayasa

JAKARTA - Tiga terdakwa kasus penjualan tanah Yayasan Fatmawati, Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin mempersoalkan penyitaan Rp 20 miliar yang dilakukan penyidik Mabes Polri. Melalui Kuasa Hukum Terdakwa, Hermawi Taslim mengatakan penyitaan uang di rekening Yayasan Fatmawati sebagai barang bukti tidak ada sangkut pautnya dengan kasus yang disidangkan.

"Atas dasar apa saudara menyita dana Rp 20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati, padahal uang dari PT Graha Nusa Utama (GNU) sudah habis dibelanjakan untuk keperluan yayasan, yakni membangun asrama perawat, kamar jenazah, dan membangun RS RP Soeroso," tanya Hermawi Taslim kepada pelapor sekaligus penyidik Polri yang menyidik kasus ini, Hartono di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (19/3).

Dalam sidang yang dipimpin Bagus Irawan itu, Hartono sendiri menduga bahwa uang yang disita dari rekening Yayasan Fatmawati merupakan dana yang masuk dari PT GNU. "Kami ketahui ada dana Rp 20 miliar di rekening Fatmawati dan patut diduga itu hasil dari perputaran uang PT GNU," jawab Hartono.

Sebelumnya, Mabes Polri menemukan ada aliran dana Bank Century sebesar Rp 25 miliar dari Robert Tantular ke Yayasan Fatmawati. Namun dari hasil penyelidikan, ternyata yang diterima yayasan itu hanya Rp 20 miliar. Sedangkan Rp 5 miliar lainnya diterima atas nama individu.

Tak puas dengan jawaban Hartono, Hermawi kembali mempertanyakan uang yang masuk ke Yayasan Fatmawati dari PT GNU yang dipimpin Toto Kuncoro sebesar Rp 25 miliar yang masuk dalam rentang waktu 2003, 2004, dan 2005. Sebab, berdasarkan pengakuan sejumlah saksi dalam Berita Acara Pidana (BAP),  uang sejumlah itu sudah habis dibelanjakan oleh Yayasan Fatmawati termasuk untuk membangun RS Soeroso.

"Rp 25 miliar itu sudah habis untuk bangun RS Soeroso, dan dibelanjakan oleh Yayasan Fatmawati pada bulan Mei 2012, kemudian disita Rp 20 miliar pada 11 Juni 2012, ini tidak nyambung," kata Hermawi.

Pertanyaan seputar penyitaan Rp 20 miliar tak berhenti sampai di situ saja. Kuasa hukum terdakwa lainnya, Haryo Budi Wibowo juga mempertanyakan tindakan penyidik yang tidak menyita RS Soeroso karena uang tersebut di antaranya digunakan untuk membangun rumah sakit tersebut.

Situasi ini langsung ditengahi Bagus. Ia mengatakan penyitaan ini akan ditanyakan lagi kepada saksi-saksi lainnya. "Nanti kita periksa dari saksi-saksi lainnya," ujarnya.

Pada sidang ini,  Terdakwa Yohanes Sarwono juga mengaku kerberatan dengan keterangan saksi yang pernah menyidiknya. Ia menolak disebut tidak memberikan bukti rincian dana dari Yayasan Fatmawati ketika disidik Mabes Polri.

"Saya keberatan, karena tadi dinyatakan saya tidak mengajukan bukti rincian penggunaan dana tersebut, padahal saya sudah menyerahkannya dan meminta penyidik memeriksa saksi-saksi lain. Tapi penyidik tidak memeriksanya," kata Yohanes.

Usai persidangan, Jaksa Penuntut Umum Mustofa menilai, seharusnya penyitaan uang sebesar itu dipertanyakan dalam sidang praperadilan untuk mengetahui sah tidaknya penyitaan uang sebesar Rp 20 miliar itu. "Kan praperadilan di antaranya untuk menguji sah tidaknya penyitaan bukti dan penahanan. Seharusnya diajukan di praperadilan kalau mau," jawabnya saat dimintai tanggapan.

Sementara itu, Hermawi menegaskan, uang dari PT GNU telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati sesuai keterangan saksi yang pernah diperiksa, di antaranya, berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Yayasan Fatmawati, Mutia Prihatini. Ia menyebut, penyitaan tersebut adalah rekayasa bukti palsu.

"Dia menyebutkan, dana tersebut sudah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. Jadi bagaimana bisa menyita uang yang sudah habis dibelanjakan?" kata Hermawi.

Dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, oleh jaksa penuntut umum Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain itu, Yohanes juga didakwa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Sumber : http://m.jpnn.com/news.php?id=163559

Penyitaan Rp20 M dari Yayasan Fatmawati Disoal

Headline 
 
INILAH.COM, Jakarta - Penyitaan dana sebesar Rp20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati oleh penyidik Mabes Polri disoal tim kuasa hukum terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin dalam peridangan lanjutan kasus sengkarut penjualan tanah Yayasan Fatmawati.

"Atas dasar apa saudara menyita dana Rp20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati, padahal uang dari PT Graha Nusa Utama (GNU) sudah habis dibelanjakan untuk keperluan yayasan, yakni membangun asrama perawat, kamar jenazah, dan membangun RS RP Soeroso," kata salah seorang tim kuasa hukum ketiganya, Hermawi Taslim kepada pelapor sekaligus penyidik Polri yang menyidik kasus ini, Hartono di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (19/3/2013)

Hartono mengaku, meski tidak bisa memastikan uang yang disita dari rekening Yayasan Fatmawati tersebut merupakan dana yang masuk dari PT GNU yang dananya diduga berasal Robert Tantular. Namun pihaknya merasa dana itu patut diduga merupakan hasil dari tindak pencucian uang.
"Kami ketahui ada dana Rp20 miliar di rekening Fatmawati dan patut diduga, itu hasil dari perputaran uang PT GNU," jawab Hartono di depan majelis hakim yang dipimpin Bagus Irawan.

Tak puas dengan jawaban tersebut, Hermawi kembali mempertanyakan uang yang masuk ke Yayasan Fatmawati dari PT GNU yang dipimpin Toto Kuncoro sebesar Rp25 miliar yang masuk dalam rentang waktu 2003, 2004, dan 2005.
Sedangkan berdasarkan pengakuan sejumlah saksi dalam berita acara pemeriksaan (BAP), uang sejumlah itu sudah habis dibelanjakan oleh Yayasan Fatmawati termasuk untuk membangun RS Soeroso.

"Rp25 miliar itu sudah habis untuk bangun RS Soeroso, dan dibelanjakan oleh Yayasan Fatmawati pada Mei 2012, kemudian disita Rp20 miliar pada 11 Juni 2012, ini tidak nyambung," cetus Taslim.

"Patut diduga terkait dana dari Robet Tantular yang dialirkan melalui Toto. Ada duit di situ, maka kami sita. Selain itu, PT GNU tidak ada kegiatan, tapi mempunyai aset yang sangat besar," jawab Hartono.

Mendapat jawaban tersebut, anggota tim kuasa hukum lainnya, Haryo Budi Wibowo mempertanyakan kenapa penyidik tidak menyita RS Soeroso karena uang tersebut di antaranya digunakan untuk membangun RS ini.

"Kami hanya menyita uang itu karena patut diduga dari hasil kegiatan yang sumber dananya dari Robet Tantular yang dialirkan kepada Toto, kemudian ke Yayasan Fatmawati," jawab Hartono.

Meski terasa janggal dengan penyitaan barang bukti tersebut, Taslim dan tim kuasa hukum tidak bisa bertanya lebih jauh karena saksi hanya menjawab uang sebesar itu disitan karena patut diduga dari hasil perputaran uang yang telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. "Ini tidak masuk logika," ungkap Taslim.

Mendapat ungkapan tersebut, Bagus menimpali, nanti kita kroscek dengan saksi-saksi lainnya. "Nanti kita periksa dari saksi-saksi lainnya," ujarnya.

Terdakwa Yohanes Sarwono yang mengaku kerberatan dengan saksi yang pernah menyidiknya, langsung menyatakan keberatan saat Ketua Majelis hakim, Bagus Irawan meminta tanggapan terdakwa.

"Saya keberatan, karena tadi dinyatakan saya tidak mengajukan bukti rincian penggunaan dana tersebut, padahal saya sudah menyerahkannya dan meminta penyidik memeriksa saksi-saksi lain. Tapi penyidik tidak memeriksanya," kata Yohanes.

Mendapat, sanggahan tersebut, kemudian Hakim Bagus menanyakan kepada saksi Hartono, apakah masih pada keterangannya.
"Saya masih pada keterangan saya, karena ketiga terdakwa tidak menyerahkan bukti, mereka hanya memberikan aliran dana saja. Kemudian, beberapa saksi yang diminta diperksa tidak dihadirkan, karena yang diperisa hanya yang mempunyai bukti dan berkas sudah dinyatakan P21, dan terlanjur dilimpahkan," paparnya.

Sedangkan saat ditanya kenapa penyidik tidak memeriksa PT Meka Elsa karena Yayasan Fatmawati menjual kembali tanah itu ke perusahaan ini setelah sebelumnya menjual ke PT GNU, Hartono menjawab, karena tidak mengetahui ada penjualan tersebut. "Saya tidak tahu," ujarnya.

Sumber : http://www.inilah.com/read/detail/1969409/penyitaan-rp-20-m-dari-yayasan-fatmawati-disoal

Penyitaan Uang Rp20 M dari Yayasan Fatmawati Dipertanyakan

JAKARTA -  Sidang lanjutan kasus penjualan tanah Yayasan Fatmawati kembali digelar. Tim kuasa hukum terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin mempertanyakan ihwal penyitaan dana sebesar Rp20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati oleh penyidik Mabes Polri.

"Atas dasar apa saudara menyita dana Rp20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati, padahal uang dari PT GNU sudah habis dibelanjakan untuk keperluan yayasan, yakni membangun asrama perawat, kamar jenazah, dan membangun RS," kata salah satu kuasa hukum terdakwa, Hermawi Taslim di persidangan, Selasa (19/3/2013).

Saksi pelapor yang merupakan penyidik perkara ini, Hartono mengaku, kendati tidak dapat memastikan uang yang disita dari rekening Yayasan Fatmawati itu merupakan dana yang masuk dari PT GNU, di mana dananya diduga berasal Robert Tantular, namun pihaknya merasa dana itu patut diduga merupakan hasil dari tindak pencucian uang.

"Kami ketahui ada dana Rp20 miliar di rekening Fatmawati dan patut diduga, itu hasil dari perputaran uang PT GNU," jawab Hartono di depan majelis hakim yang dipimpin Bagus Irawan.

Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Mustofa menilai, seharusnya penyitaan uang sebesar itu dipertanyakan dalam sidang praperadilan untuk mengetahui sah tidaknya penyitaan uang sebesar Rp20 miliar itu.

"Kan praperadilan di antaranya untuk menguji sah tidaknya penyitaan bukti dan penahanan. Seharusnya diajukan di praperadilan kalau mau," kata jaksa.

Hermawi Taslim kembali menegaskan, uang dari PT GNU telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati sebagaimana keterangan saksi yang pernah diperiksa, diantaranya, berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Yayasan Fatmawati, Mutia Prihatini. Dia menyebut, penyitaan tersebut adalah rekayasa bukti palsu.

"Dia menyebutkan, dana tersebut sudah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. Jadi bagaimana bisa menyita uang yang sudah habis dibelanjakan?" sergahnya.

Sedangkan terdakwa Yohanes Sarwono langsung menyatakan keberatan saat ketua majelis hakim, Bagus Irawan meminta tanggapan terdakwa.

"Saya keberatan, karena tadi dinyatakan saya tidak mengajukan bukti rincian penggunaan dana tersebut, padahal saya sudah menyerahkannya dan meminta penyidik memeriksa saksi-saksi lain. Tapi penyidik tidak memeriksanya," ujar Sarwono.

Sekadar diketahui, dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, para terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Barang bukti berupa uang sebesar Rp20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati juga telah disita.

Sumber : http://news.okezone.com/read/2013/03/20/339/778453/penyitaan-uang-rp20-m-dari-yayasan-fatmawati-dipertanyakan

Penyitaan Dana Rp 20 M Yayasan Fatmawati Dipertanyakan

ILUSTRASI
  

RMOL. Penyitaan dana sebesar Rp 20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati oleh penyidik Mabes Polri dipersoalkan tim kuasa hukum terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin dalam persidangan lanjutan kasus sengkarut penjualan tanah Yayasan Fatmawati.

"Atas dasar apa Saudara menyita dana Rp 20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati, padahal uang dari PT Graha Nusa Utama (GNU) sudah habis dibelanjakan untuk keperluan yayasan, yakni membangun asrama perawat, kamar jenazah, dan membangun RS RP Soeroso," kata salah seorang tim kuasa hukum ketiganya, Hermawi Taslim kepada pelapor sekaligus penyidik Polri yang menyidik kasus ini, Hartono di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa petang, (19/3).

Hartono mengaku, meski tidak bisa memastikan uang yang disita dari rekening Yayasan Fatmawati tersebut merupakan dana yang masuk dari PT GNU yang dananya diduga berasal Robert Tantular, namun pihaknya merasa dana itu patut diduga merupakan hasil dari tindak pencucian uang.

"Kami ketahui ada dana Rp 20 miliar di rekening Fatmawati dan patut diduga, itu hasil dari perputaran uang PT GNU," jawab Hartono di depan majelis hakim yang dipimpin Bagus Irawan.

Tak puas dengan jawaban tersebut, Hermawi kembali mempertanyakan uang yang masuk ke Yayasan Fatmawati dari PT GNU yang dipimpin Toto Kuncoro sebesar Rp 25 miliar yang masuk dalam rentang waktu 2003, 2004, dan 2005. Sedangkan berdasarkan pengakuan sejumlah saksi dalam Berita Acara Pidana (BAP),  uang sejumlah itu sudah habis dibelanjakan oleh Yayasan Fatmawati termasuk untuk membangun RS Soeroso.

"Rp 25 miliar itu sudah habis untuk bangun RS Soeroso, dan dibelanjakan oleh Yayasan Fatmawati pada bulan Mei 2012, kemudian disita Rp 20 miliar pada 11 Juni 2012, ini tidak nyambung," cetus Taslim.

"Patut diduga terkait dana dari Robet Tantular yang dialirkan melalui Toto. Ada duit di situ, maka kami sita. Selain itu, PT GNU tidak ada kegiatan, tapi mempunyai aset yang sangat besar," jawab Hartono.

Anggota tim kuasa hukum lainnya, Haryo Budi Wibowo pun mempertanyakan kenapa penyidik tidak menyita RS Soeroso karena uang tersebut di antaranya digunakan untuk membangun RS ini.

"Kami hanya menyita uang itu karena patut diduga dari hasil kegiatan yang sumber dananya dari Robet Tantular yang dialirkan kepada Toto, kemudian ke Yayasan Fatmawati," jawab Hartono.

Terdakwa Yohanes Sarwono langsung menyatakan keberatan saat Ketua Majelis hakim, Bagus Irawan meminta tanggapan terdakwa.

"Saya keberatan, karena tadi dinyatakan saya tidak mengajukan bukti rincian penggunaan dana tersebut, padahal saya sudah menyerahkannya dan meminta penyidik memeriksa saksi-saksi lain. Tapi penyidik tidak memeriksanya," kata Yohanes.

Mendapat, sanggahan tersebut, kemudian Hakim Bagus menanyakan kepada saksi Hartono, apakah masih pada keterangannya. "Saya masih pada keterangan saya, karena ketiga terdakwa tidak menyerahkan bukti, mereka hanya memberikan aliran dana saja.  Kemudian, beberapa saksi yang diminta diperksa tidak dihadirkan, karena yang diperisa hanya yang mempunyai bukti dan berkas sudah dinyatakan P21, dan terlanjur dilimpahkan," paparnya.

Sedangkan saat ditanya kenapa penyidik tidak memeriksa PT Meka Elsa karena Yayasan Fatmawati menjual kembali tanah itu ke perusahaan ini setelah sebelumnya menjual ke PT GNU, Hartono menjawab, karena tidak mengetahui ada penjualan tersebut. "Saya tidak tahu," ujarnya.

Usai persidangan, Jaksa Penuntut Umum Mustofa menilai, seharusnya penyitaan uang sebesar itu dipertanyakan dalam sidang pra peradilan untuk mengetahui sah tidaknya penyitaan uang sebesar Rp 20 miliar itu.

"Kan pra peradilan di antaranya untuk menguji sah tidaknya penyitaan bukti dan penahanan. Seharusnya diajukan di pra peradilan kalau mau," jawabnya saat dimintai tanggapan.

Sementara itu, Taslim menegaskan, uang dari PT GNU telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati sesuai keterangan saksi yang pernah diperiksa, di antaranya, berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Yayasan Fatmawati, Mutia Prihatini. Ia menyebut, penyitaan tersebut adalah rekayasa bukti palsu.

"Dia menyebutkan, dana tersebut sudah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. Jadi bagaimana bisa menyita uang yang sudah habis dibelanjakan?" pungkasnya.

Sumber : http://rmol.co/news.php?id=102933

Penyitaan Uang Yayasan Fatmawati Dipertanyakan

Skalanews - Tiga terdakwa kasus dugaan pencucian uang Yayasan Fatmawati, mempertanyakan penyitaan uang sebesar Rp20 milliar yang dilakukan penyidik Bareskrim Mabes Polri dari rekening milik yayasan tersebut.

Tiga terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin, melalui kuasa hukumnya Hermawi Taslim mempertanyakan hal itu dalam persidangan di Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, Selasa (19/3).

Menurut Hermawi, uang Rp20 miliar yang disita penyidik Bareskrim bukanlah aliran dari terdakwa Bank Century, Robert Tantular.

"Atas dasar apa saudara menyita dana Rp20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati, padahal uang dari PT Graha Nusa Utama (GNU) sudah habis dibelanjakan untuk keperluan yayasan, yakni membangun asrama perawat, kamar jenazah, dan membangun RS RP Soeroso," beber Hermawi Taslim, kepada saksi penyidik Bareskrim Polri, Hartono.

"Kami ketahui ada dana Rp20 miliar di rekening Fatmawati dan patut diduga, itu hasil dari perputaran uang PT GNU," jawab Hartono di depan majelis hakim yang dipimpin Bagus Irawan.

Tak puas dengan jawaban tersebut, Hermawi kembali mempertanyakan uang yang masuk ke Yayasan Fatmawati dari PT GNU yang dipimpin Toto Kuncoro sebesar Rp25 miliar yang masuk dalam rentang waktu 2003, 2004, dan 2005.

Sedangkan berdasarkan pengakuan sejumlah saksi dalam Berita Acara Pidana (BAP),  uang sejumlah itu sudah habis dibelanjakan oleh Yayasan Fatmawati termasuk untuk membangun RS RP Soeroso.

"Uang Rp25 miliar itu sudah habis untuk bangun RS RP Soeroso, dan dibelanjakan oleh Yayasan Fatmawati pada bulan Mei 2012, kemudian disita Rp20 miliar pada 11 Juni 2012, ini tidak nyambung," papar Taslim

"Patut diduga terkait dana dari Robet Tantular yang dialirkan melalui Toto. Ada duit di situ, maka kami sita. Selain itu, PT GNU tidak ada kegiatan, tapi mempunyai aset yang sangat besar," jawab Hartono.

Mendapat jawaban tersebut, anggota tim kuasa hukum lainnya, Haryo Budi Wibowo mempertanyakan kenapa penyidik tidak menyita RS Soeroso karena uang tersebut di antaranya digunakan untuk membangun RS tersebut.

"Kami hanya menyita uang itu karena patut diduga dari hasil kegiatan yang sumber dananya dari Robet Tantular yang dialirkan kepada Toto, kemudian ke Yayasan Fatmawati," kata Hartono lagi.

Usai persidangan, Jaksa Penuntut Umum Mustofa menilai, seharusnya penyitaan uang sebesar itu dipertanyakan dalam sidang pra peradilan untuk mengetahui sah tidaknya penyitaan uang sebesar Rp 20 miliar itu.

"Kan pra peradilan diantaranya untuk menguji sah tidaknya penyitaan bukti dan penahanan. Seharusnya diajukan di pra peradilan kalau mau," tukas Mustofa.

Hermawi Taslim menegaskan, uang dari PT GNU telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati sesuai keterangan saksi yang pernah diperiksa, di antaranya, berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Yayasan Fatmawati, Mutia Prihatini. Ia menyebut, penyitaan tersebut adalah rekayasa bukti palsu.

"Dia menyebutkan, dana tersebut sudah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. Jadi bagaimana bisa menyita uang yang sudah habis dibelanjakan?" pungkasnya.

Dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, oleh jaksa penuntut umum Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain itu, Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Sumber : http://skalanews.com/berita/detail/141024/Penyitaan-Uang-Yayasan-Fatmawati-Dipertanyakan

Gita Wirjawan Jernihkan Kesalahpahaman Timwas Century

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan (Jaringnews/Dwi Sulistyo)
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan (Jaringnews/Dwi Sulistyo)
"Siapa pun hendaknya jangan berbicara di luar proporsi," tegas Gita.
JAKARTA, Jaringnews.com - Menteri Perdagangan Gita Wirjawan memenuhi panggilan Timwas Century di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (20/3). Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB, Gita menjernihkan kesalahpahaman yang berkembang akibat opini beberapa anggota Timwas, yang mengaitkan dirinya dengan aliran dana bail-out Bank Century.

“Saya sangat menghormati penegakan hukum. Tetapi sebelum proses hukum tersebut dituntaskan, siapa pun hendaknya jangan berbicara di luar proporsi. Saya sangat bersedia berbicara dan memberi kesaksian sepanjang itu bertujuan untuk menopang kebenaran,” kata Gita seusai RDPU yang berlangsung non-stop selama lima jam tersebut.

Dikait-kaitkannya nama Gita Wirjawan terhadap kasus Bank Century bermula dari tudingan anggota Timwas Century dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo. Politisi yang namanya dipendekkan jadi Bamsoet itu menyebut adanya keterkaitan Grup Ancora, kelompok usaha yang didirikan oleh Gita, dengan skandal Century.

Bamsoet  mendasarkan tudingannya pada pembelian saham PT Graha Nusa Utama (GNU) oleh Ancora Land. Sebab, dalam perkara keperdataan antara GNU dengan Yayasan Fatmawati, Direktur Utama GNU, Totok Kuntjoro, diketahui melakukan tindak pidana pencucian uang karena menerima aliran dana dari Robert Tantular, dan menempatkan dana itu di rekening GNU.

Namun, ketidakbenaran tudingan ini dan adanya kesalahpahaman pada Timwas akhirnya terjawab melalui penjelasan Gita Wirjawan. Gita Wirjawan menegaskan bahwa dirinya tidak mempunyai kepemilikan langsung mau pun tidak langsung di PT Ancora Land mau pun di PT GNU, yang dituduh sebagai penerima aliran dana tersebut. “Dan ini sudah saya deklarasikan sebelum saya masuk ke pemerintahan,” kata Gita.

Selain itu, Gita juga menjelaskan bahwa berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) terbukti bahwa yang mempunyai hubungan bisnis dengan Robert Tantular adalah Totok Kuntjoro. Itu terlihat dari adanya hubungan transaksi keuangan dua arah antara kedua pengusaha tersebut yang sudah berlangsung sejak lama. “Hal itu sudah diputuskan oleh hakim dan disebutkan bahwa hubungan itu adalah dalam kaitan pinjam-meminjam,“ kata Gita.

Gita Wirjawan juga berkali-kali menegaskan bahwa ia sama sekali tidak mengenal Robert Tantular apalagi berbisnis dengan dia. "Yang dekat dengan Robert Tantular itu Totok, dan itu sudah dibuktikan oleh pengadilan bahwa mereka ada hubungan pinjam-meminjam," ujar mantan Kepala BKPM ini.

Oleh karena itu, Gita Wirjawan mengharapkan agar semua pihak mengormati proses hukum yang sudah berjalan. Meskipun demikian, Gita juga maklum bila masih ada yang tidak percaya pada penjelasannya ini. “Kalau masih mau tetap dispekulasikan bahwa saya ini bukan hanya pembina di Ancora, negara kita negara demokrasi, siapa pun dapat berpendapat. Tetapi semangat profesionalisme di Ancora dapat dipertanggungjawabkan,” tutup dia.

Sumber : http://jaringnews.com/politik-peristiwa/wakil-rakyat/36851/gita-wirjawan-jernihkan-kesalahpahaman-timwas-century

Bamsoet Kena Batunya, Rekomendasinya Ditolak Timwas Century

Bambang Soesatyo
Bambang Soesatyo
Bamoset tetap ngotot, bahkan dia menantang.
JAKARTA, Jaringnews.com - Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Timwas Century DPR dengan Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, hari ini (20/3), Bambang Soesatyo kena batunya. Alih-alih didukung oleh rekannya sesama Timwas Century, politisi yang getol mempolitisir kasus ini harus gigit jari karena usulnya dimentahkan sesama rekannya sendiri.

Kejadian ini bermula ketika RDPU tersebut hampir berakhir dan tiba pada proses pengambilan kesimpulan. Dalam draft yang disiapkan sekretariat DPR, ada poin kesimpulan yang mengatakan Timwas Century pada RDPU itu mengusulkan penyitaan atas lahan seluas 22 hektar yang telah dibeli oleh  PT Graha Nusa Utama (GNU) dari Yayasan Fatmawati.

Timwas menilai GNU memperoleh aliran dana dari Robert Tantular yang notabene terpidana kasus Century. Oleh karenanya lahan 22 hektar itu direkomendasikan disita negara sebagai barang bukti.

Sebagaimana diketahui, GNU adalah anak usaha Ancora Land, perusahaan yang berafiliasi dengan Ancora Capital, perusahaan yang didirikan oleh Gita Wirjawan. Sebelumnya, dalam perkara keperdataan antara GNU dengan Yayasan Fatmawati, Direktur Utama GNU, Totok Kuntjoro, diketahui melakukan tindak pidana pencucian uang karena menerima aliran dana dari Robert Tantular, dan menempatkan dana itu di rekening GNU

Bambang Soesatyo yang sejak pagi sangat menggebu-gebu, dengan ngotot mengatakan bahwa rekomendasi itu harus dicantumkan sebagai kesimpulan. Padahal anggota Timwas dari Partai Demokrat, Achsanul Qosasi, sudah mengusulkan agar para pihak yang diundang pada RDPU kali ini diberi kesempatan terlebih dulu  memberikan jawaban tertulis karena masih diperlukan data yang lebih lengkap.

Namun, Bamoset tetap ngotot, bahkan dia menantang dengan mengatakan,"Anda boleh tidak setuju, tapi Fraksi Partai Golkar tetap menginginkan rekomendasi ini."

Sikap ngotot Bamoset akhirnya mentah setelah Fahri Hamzah yang merupakan ketua Tim Kecil Timwas, mengklarifikasi bahwa kehadiran Gita Wirjawan pada rapat hari ini bukan dengan kapasitas sebagai menteri tetapi warga negara biasa pendiri Grup Ancora.

Dijelaskan pula, hanya untuk rapat dengan pihak pemerintah saja diharuskan ada kesimpulan dan rekomendasi. Dan atas penjelasan itu, semua fraksi akhirnya menyepakati tidak ada rekomendasi penyitaan aset tersebut. Bamsoet pun akhirnya tak lagi ngotot mengusulkan adanya rekomendasi tersebut.

Sumber : http://jaringnews.com/politik-peristiwa/wakil-rakyat/36861/bamsoet-kena-batunya-rekomendasinya-ditolak-timwas-century

Eksekusi Tanpa Dasar Hukum, Ketua PN Jaksel Dinilai Arogan

Logo Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (ilustrasi). (foto: berita99.com)
Logo Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (ilustrasi). (foto: berita99.com)
Kehadiran Sui Teng di PN Jaksel pada Jumat (25/1) lalu patut dipertanyakan.
JAKARTA, Jaringnews.com - Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dinilai mencoba memaksakan eksekusi penyerahan tanah yang tercantum dalam Sertifikat Hak Pakai No. 82/Cilandak Barat, atas nama Departemen Kesehatan (Depkes) kepada Yayasan Fatmawati, Jumat (25/1) lalu. Padahal, penyerahan itu seharusnya dibarengi dengan penyerahan lima sertifikat Hak Pakai atas sebidang tanah seluas 13.524 m2 di daerah Ciputat, Tangerang, yang seyogyanya menjadi kewajiban Yayasan Fatmawati kepada Depkes.

Sekedar catatan, eksekusi ini merupakan muara dari sengketa Yayasan Fatmawati dengan Depkes di tahun 1999, di atas lahan berdirinya Rumah Sakit Fatmawati saat ini.  Yayasan Fatmawati akhirnya memenangkan gugatannya ke Depkes sampai ke tingkat kasasi Mahkamah Agung, yang menghukum Depkes membayar ganti rugi sebesar Rp 75 miliar kepada yayasan.

Keduanya pihak akhirnya memilih berdamai, yang dituangkan dalam akta perdamaian Nomor 3 Tanggal 13 Desember Tahun 2000, dibuat di hadapan Felix FX Hardojo, notaris di Jakarta. Perdamaian itu mensyaratkan empat hal. Pertama, Depkes membayar tunai Rp 25 miliar. Kedua, sisanya Rp 50 miliar dikompensasi dengan tanah seluas 22,8 hektar yang merupakan bagian dari tanah sertifikat No. 82/Cilandak Barat. Ketiga,  Yayasan Fatmawati berkewajiban membangun infrastruktur rumah sakit semisal asrama perawat, kamar mayat, rumah karyawan dan membangun jalan di lingkungan rumah sakit. Keempat, hak atas tanah dalam sertifikat Nomor 82 seluas 22,8 hektar yang saat ini menjadi Lapangan Golf Fatmawati, akan diberikan kepada Yayasan Fatmawati apabila sudah memenuhi kewajibannya membangun infrastruktur rumah sakit tersebut.

Karena tidak cukup dana untuk membangun infrastruktur rumah sakit, Yayasan Fatmawati pun bernisiatif menjual tanah seluas 22,8 hektar itu Kepada PT Graha Nusa Utama (PT GNU). Selain telah membayar Rp 65 miliar kepada Yayasan Fatmawati, PT GNU juga berkewajiban membangun infrastuktur rumah sakit, sebagaimana yang tertuang dalam akta perdamaian Nomor 3 Tahun 2000 itu.

Masalah kemudian timbul ketika Yayasan Fatmawati menjual kembali tanah seluas 22,8 hektar itu kepada PT Meka Elsa (PT ME). Padahal PT GNU telah melakukan pembayaran tunai Rp 65 miliar kepada pihak Yayasan Fatmawati.

“Jelas, bahwa PT ME dalam hal ini adalah pembeli ilegal,” kata Misrad, anggota kuasa hukum PT GNU, di Jakarta, Minggu (27/1).

Misrad menduga, PT ME lah pihak yang mendorong Ketua PN Jaksel untuk merampas tanah negara yang seharusnya menjadi hak PT GNU. Selain arogan, sambung Misrad, Ketua PN Jaksel juga sudah melampaui kewenangannya dengan ngotot melakukan eksekusi penyerahan sertifikat kepada Yayasan Fatmawati.

Tak cukup sampai di situ, Misrad mengungkapkan bahwa ada dua surat Kejaksaan Agung tertanggal 3 dan 9 Januari 2012 sebagai pengacara negara atas nama Depkes kepada Ketua PN Jaksel. Isi surat itu menyebutkan, Jaksa Pengacara Negara (JPN) melarang keputusan Ketua PN Jaksel untuk mengeksekusi penyerahan tanah No. 82/Cilandak barat itu kepada Yayasan Fatmawati.

"Alasannya, selain melampaui kewenangan, menurut JPN, eksekusi itu tidak ada tercantum dalam putusan perkara gugatan Yayasan Fatmawati ke Depkes di PN Jaksel dengan  Nomor 1115/Pdt.G/2008/PN.Jaksel. Kemudian, eksekusi itu juga akan merugikan negara sebagai pemegang hak tanah yang saat ini dijadikan sebagai lapangan golf di sebelah RS Fatmawati Jakarta Selatan," beber Misrad.

Nah, Jumat (25/1) lalu, hadir dalam prosesi eksekusi itu dari pihak Yayasan Fatmawati, kuasa hukum PT GNU dan pihak Depkes. Namun, Ketua PN Jaksel tak jua muncul. Novran, Ketua Panitera PN Jaksel yang tampil hadir mewakili Ketua PN Jaksel. Anehnya, Sui Teng alias Cahyadi Kumala dari PT ME terlihat hadir bersama delapan orang preman yang mengawalnya. Pria bermata sipit itu terlihat mondar-mandir di lantai dasar menunggu hasil proses eksekusi di lantai dua PN Jaksel.

Menurut Misrad, meski tidak turut hadir dalam ruangan, kehadiran Sui Teng di PN Jaksel bukanlah sebagai pihak yang diundang dalam proses eksekusi itu. Kata dia, hal ini patut dipertanyakan.

“Dia bukan sebagai pihak yang diundang, ada apa dengan kehadiran mereka?” katanya.

“Dengan kehadiran Sui Teng ini, jelas menggambarkan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang mencoba mengintervensi pelaksanaan eksekusi ini. Kami akan tetap melakukan upaya penolakan keras atas pelaksanaan eksekusi itu," tegas Misrad.

Hari itu juga, JPN langsung mendaftarkan gugatan perlawanan terhadap keputusan Ketua PN Jaksel yang akan mengeksekusi penyerahan sertifikat itu. Pihak Depkes juga berencana akan menarik sertifikat itu dari tangan PN Jaksel.

Beruntung, setelah mendapat penolakan keras dari pihak PT GNU dan JPN, eksekusi itu akhirnya ditunda hingga Senin (28/1) hari ini.

"Ketidakhadiran Ketua PN Jaksel dalam proses eksekusi itu menandakan bahwa ada keraguan-raguan atas kekeliruannya dalam keputusan eksekusi itu. Sehingga eksekusi pun mengalami penundaan," ujar Misrad.

Sebelumnya, ungkap Misrad, justru pihaknyalah yang membuat surat permohonan ke Ketua PN Jaksel tentang status tanah seluas 22,8 hektar itu. “Lantas, mengapa Ketua PN Jaksel mau menyerahkan itu ke Yayasan Fatmawati?” tanya Misrad. "Senin ini, kami dan JPN  akan kembali melakukan penolakan keras atas eksekusi yang akan kembali digelar di PN Jaksel," tandas dia.

Sekedar catatan, Sui Teng merupakan kolega pemilik kerajaan bisnis Grup Artha Graha, Tommy Winata. Ia diketahui telah lama malang-melintang berkecimpung di usaha pembebasan tanah dan properti.

Sumber : http://jaringnews.com/keadilan/umum/32952/eksekusi-tanpa-dasar-hukum-ketua-pn-jaksel-dinilai-arogan