Chairul Tanjung [reuters]
Rekomendasi Komisi Ekonomi
Nasional (KEN) untuk mengatasi kartel komoditas pangan pada pekan lalu belum
menjamin solusi untuk menekan gejolak harga berlebihan. Namun,
rekomendasi itu untuk memperkuat peran pemerintah yang nyaris tak berdaya
berhadapan dengan para kartel. Pola yang mirip dan harus diatasi adalah mafia
tanah dalam berbagai skala dan modus. Belakangan, isu dana Bank Century pun,
‘ditunggangi’ para mafia tanah. Berikut ulasan wartawan SP Heri Soba.
Hampir
setiap tahun, ketika gejolak harga pangan melonjak tinggi, salah satu sorotan
pemerintah dan berbagai kalangan terkait adalah indikasi praktik kartel dalam
pasar komoditas pangan. Sorotan akan perlahan mereda ketika harga komoditas
pangan beranjak turun. Indonesia adalah negeri kartel dan mafia. Hampir
setiap lini bisnis di negeri ini sudah dicemari praktik tercela itu. Tak
mengherankan jika perekonomian nasional terus terdistorsi. Harga barang dan
jasa acapkali melejit tanpa sebab yang jelas. Mekanisme pasar kerap lumpuh.
Hukum penawaran dan permintaan dibuat tak berdaya.
Kartel
adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan pasal 11 Undang- Undang No 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk memengaruhi harga dengan
mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Pekan
lalu, Komisi Ekonomi Nasional (KEN) menyoroti secara khusus soal kartel
tersebut. Sekalipun hanya memberikan sejumlah rekomendasi untuk mendorong
berbagai solusi atas kartel, apa yang dilakukan KEN tersebut patut diberi
apresiasi. Apalagi, KEN merupakan lembaga pemerintah yang diisi oleh berbagai
kalangan akademisi, profesional, dan pengusaha, yang dipimpin oleh konglomerat
Chaerul Tanjung.
KEN
mengadukan praktik kartel lima komoditas pangan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Komoditas tersebut adalah gula, kedelai, beras, jagung, dan
daging sapi. Presiden pun telah menginstruksikan Menko Perekonomian Hatta
Rajasa untuk menindaklanjuti rekomendasi KEN tentang kartel pangan.
Menurut Ketua KEN Chairul Tanjung, praktik kartel telah menyebabkan harga lima komoditas
pangan itu cenderung terus naik di dalam negeri. Dia mencontohkan, harga gula pada 2009 masih sekitar Rp 6.300 per
kilogram (kg), namun kini berkisar Rp 11.000-13.000 per kg. Padahal, harga gula di pasar internasional hanya
sekitar US$ 489,80 per ton atau Rp 4.700 per kg. Hal serupa terjadi pada komoditas kedelai dan daging sapi. Pada
2009, harga daging
sapi hanya sekitar Rp 60.000 per kg, sekarang
menembus Rp 100.000 per kg. Akibatnya, banyak pedagang bakso harus berhenti berjualan.
Sejumlah
kalangan menilai, keberadaan kartel pangan sangat merugikan konsumen maupun
industri pengolahan. Selain menguasai pasar, kelompok kartel terus berupaya
mendorong harga dan merusak ketahanan pangan dalam negeri. Melihat keuntungan
yang menggiurkan, mereka terus berupaya untuk mengimpor komoditas pangan.
Selama
Januari-November 2012, data Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan
menunjukkan, Indonesia mengimpor sekitar 16 juta ton komoditas pangan
utama dengan total nilai mencapai US$ 8,5 miliar (Rp 81,5 triliun). Rinciannya,
nilai impor produk serealia (padi, jagung, beras, dan sorgum) senilai US$ 3,26
miliar, gula US$ 1,46 miliar, susu US$ 945,34 juta, serta kacang-kacangan dan
buah US$ 756,27 juta. Sedangkan impor tepung senilai US$ 560,66 juta, sayur US$
445,74 juta, kopi, teh, dan bumbu US$ 303,72 juta, daging US$ 136,8 juta, serta
pangan utama lain US$ 548,05 juta.
Kartel
importir pangan di Indonesia diperkirakan meraup keuntungan Rp 13,5 triliun per
tahun. Keuntungan itu berasal dari 15% nilai impor komoditas pangan yang setiap
tahun sekitar Rp 90 triliun. Mereka diduga mengendalikan harga dan pasokan
komoditas pangan utama di dalam negeri seperti gula, kedelai, beras, jagung,
dan daging sapi.
Menurut
Ketua Dewan Kedelai Nasional Benny Kusbini seperti ditulis SP dan Investor
Daily pekan lalu, kegiatan kartel di Indonesia dilakukan eksportir di luar
negeri bekerja sama dengan orang Indonesia. Kartel ini diduga melibatkan
oknum pejabat pemerintah, DPR, penegak hukum, dan para politisi.
Chairul yang mengklain
diri sebagai “anak singkong” menjelaskan, struktur pasar komoditas pangan cenderung
oligopolistis. Di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang
disebut ABCD, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis
Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90% perdagangan serealia atau biji-bijian
dunia. Kecenderungan yang sama terjadi di pasar domestik. Importir kedelai
hanya ada tiga, yakni PT Teluk Intan (menggunakan PT Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai
Budi, dan PT Cargill.
Di industri pakan unggas yang hampir 70% bahan bakunya
adalah jagung, menurut Chairul, empat perusahaan terbesar
menguasai sekitar 40% pangsa pasar. Sementara itu, empat produsen gula
rafinasi terbesar menguasai 65% pangsa pasar gula rafinasi dan 63% pangsa pasar
gula putih. “Untuk distribusi gula di dalam negeri diduga dikuasai enam
orang. Mereka adalah Acuk, Sunhan, Harianto, Yayat, Kurnadi, dan Piko.
Sebelumnya, pasar gula ini dikuasai ‘sembilan samurai’,” tutur dia.
Kartel
juga terjadi pada industri gula rafinas yang memperoleh izin impor raw sugar
(gula mentah) 3 juta ton setahun yang dikuasai delapan produsen. Bagi
sejumlah kalangan, kartel bisa dibenarkan asalkan untuk kepentingan masyarakat.
Misalnya, Perum Bulog membeli gula petani dengan harga tinggi dan dijual dengan
harga layak.
Sebenarnya,
kasus kartel kedelai yang merebak pada pertengahan 2012 lalu juga sudah masuk
dalam agenda Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ketua KPPU Nawir
Messi mengatakan sebagian besar kegiatan kartel pangan yang dilaporkan KEN
telah atau masih dalam proses investigasi lembaganya. Untuk menjaga
kelangsungan dan kerahasiaan investigasi, perkembangan yang dicapai KPPU tidak
pernah diungkapkan. "Jika kemudian KEN melaporkan ke Presiden dan itu
dianggap laporan ke KPPU juga, itu tidak menjadi persoalan. Kami akan jalan
bersama-sama" kata dia.
Nawir
menegaskan, pihaknya tidak akan melakukan investigasi jika tidak ada indikasi
tindakan yang mengarah kartel. Saat ini, KPPU tengah menginvestigasi
perdagangan sejumlah produk pangan, seperti kedelai dan daging. “Banyak
investigasi KPPU terhadap dugaan praktik kartel tidak pernah dipublikasikan,
kemudian akhirnya menjadi kasus dan masuk ke pengadilan. Beberapa contoh kasus
di masa lalu adalah kartel minyak goreng dan gula yang dilaporkan KEN,” tambah
dia.
Century dan Mafia Tanah
Sebagaimana
kartel pangan, praktik mafia tanah juga menjadi batu sandungan yang cukup
merepotkan pemerintah. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah dituding tidak
berani mengambil terobosan untuk mengatasi kendala infrastruktur yang membuat
biaya logistik di Indonesia sangat tinggi dibandingkan sesama negara Asia
Tenggara. Investasi pun terhambat untuk menorong pertumbuhan ekonomi. Daripada
susah, dipersulit, dan lebih mahal untuk membangun investasi, para pengusaha
lebih baik impor saja karena lebih murah dan praktis. Resikonya, aktivitas
investasi di berbagai sektor tidak berjalan, banyak devisa terbuang, neraca
perdagangan bergerak minus, ekonomi Indonesia pun rapuh.
Kendala
investasi yang dihadapi tersebut persis seperti dampak dari persoalan kartel.
Dalam praktik kartel, tingginya keuntungan mendorong impor pangan terus
terjadi. Sejumlah negara juga menjual murah residual stock (sisa stok)
sehingga bisa dibeli dengan harga murah. Gula impor dari Australia pasti lebih
murah dibandingkan harga jual produsen di dalam negerinya. Jadi, untuk apa
susah-susah berinvestasi jika lebih untung impor.
Dalam
beberapa kesempatan, pemerintah pusat dan daerah seakan-akan dibuat tak berdaya
karena berhadapan dengan mafia tanah tersebut. Pembangunan fasilitas umum,
seperti jalan tol, rel kereta api, perluasan bandara, atau berbagai fasilitas
lainnya terhambat. Pada Agustus 2012 lalu, dalam rapat sebuah koordinasi, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pun resah dengan ulah para makelar dan mafia tanah
tersebut karena berdampak langsung pada laju pertumbuhan ekonomi.
”Banyak
sekali kaum makelar yang cari manfaat untuk kepentingan pribadi, bukan
kepentingan rakyat,” kata Presiden SBY usai rapat koordinasi bidang perhubungan
dan pekerjaan umum di kantor Angkasa Pura II di Bandara Soekarno Hatta,
Tangerang, Banten.
Pernyataan
yang sama, ditekankan kembali oleh SBY dalam pidatonya di Istana Negara pada
pertengahan Oktober 2012, yang menilai lambatnya pembangunan infrastruktur
karena ulah para mafia tanah.
Dikatakan,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun APBD untuk infrastruktur
sering terhambat karena tak mudah bagi pemerintah membebaskan lahan atau tanah.
Pemerintah juga berharap tengah menyiapkan peraturan presiden (Perpres) yang
merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sayang, Perpres yang dimaksud belum jelas
hingga sekarang sehingga UU pun belum bisa diimplementasikan. Padahal. melalui
Perpres tersebut, sejumlah proyek infrastuktur dapat segera berjalan tanpa
terkendala pembebasan lahan.
Dalam
rapat koordinasi itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hendarman Supandji
juga menyatakan, banyak tanah-tanah rakyat yang dikuasai mafia tanah. Harga
yang sudah disepakati pemerintah dan pemilik tanah sering menemui kendala
karena adanya pihak ketiga yang mempermainkan harga terlalu tinggi.
Sebenarnya,
ada banyak praktik mafia tanah lain yang melibatkan berbagai kalangan, mulai
dari pengusaha ‘hitam’ berkedok investor, pejabat pemerintah, dan para penegak
hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. Salah satu yang belakangan mulai
mencuat adalah kasus tanah milik Yayasan Fatmawati yang dicaplok Kementerian
Kesehatan (dulu Departemen Kesehatan/Depkes) pada masa awal Orde Baru. Setelah
putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) pada tahun 1999 memenangkan Yayasan
Fatmawati, pihak Depkes yang seharusnya membayar ganti rugi Rp 75 miliar, mengajukan
jalan tengah alias jalan damai dengan sejumlah persyaratan.
Pihak
yayasan mendapatkan ganti rugi Rp 50 miliar berupa lahan seluas 22,8 hektare
(ha) di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, dan persyaratan lainnya dengan
membangun sejumlah sarana fasilitas pendukung Rumah Sakit Fatmawati, seperti
asrama perawat, kamar mayat, rumah karyawan RS Fatmawati.
Sejak
mengajukan gugatan hingga menang, kemudian melakukan penjualan atas lahan ganti
rugi, Yayasan Fatmawati memberikan kuasa resmi kepada Yohanes Sarwono, Stefanus
Farok, dan Umar Muchsin (Sarwono cs) dengan akte perjanjian.
Menurut
Stefanus, pihaknya menjalankan kuasa sesuai akte notaris dan melakukan
transaksi dengan pihak ketiga sejak tahun 2003. Singkat cerita, setelah lahan
tersebut dibeli PT Graha Nusa Utama (GNU) yang belakangan mendapatkan suntikan
dana dari PT Ancora, milik Gita Wirjawan yang saat ini menjadi Menteri
Perdagangan, pihak yayasan justru melanggar kesepakatan dengan menjual lagi
lahan yang sama kepada pihak ketiga, yakni PT Mekaelsa. Atas pelanggaran itu,
maka pada 16 Januari 2012, Sarwono cs melaporkan Ketua Yayasan Fatmawati dan
bendahara/pembina, masing-masing Panji Hari Soehardjo dan Dwi Librianto ke
Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri). Keduanya telah ditetapkan sebagai
tersangka keterangan palsu akta autentik atau melanggar pasal 266 KUHP dan 385
KUP oleh Mabes Polri.
“Setelah
setahun kami tanyakan lagi status para tersangka tersebut, pihak Mabes Polri
hanya mengatakan tengah diproses,” kata Hermawi Taslim, yang menjadi kuasa
keluarga Stefanus Farok, di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (16/1).
Ironisnya,
Mabes Polri bukannya memproses Panji dan Dwi, tetapi malah menahan Sarwono cs
sebagai tersangka pencucian uang dana Bank Century sebesar Rp 20 miliar yang
disetorkan Sarwono cs ke Yayasan Fatmawati. Memang PT GNU pernah meminjam dana
dari Robert Tantular (Bank CIC) pada kurun waktu 2003-2005 dan itupun sudah
dilunasi. Dalam pembayaran tahapan terakhir, PT GNU mendapatkan pasokan dana
dari PT Ancora (Ancora Land). “Mana mungkin transaksi pada 2003-2005 dikaitkan
dengan dana Bank Century yang terjadi pada 2008-2009. Bukti Rp 20 miliar yang
menjadikan kami tersangka pun dibuat-buat, karena sudah digunakan pihak yayasan
untuk membangun sejumlah persyaratan dan fasilitas yang diminta. Dana Rp 20
miliar inilah yang misterius dan dibuat seolah-olah ada pencucian uang,” kata
Stefanus.
Menurut
pakar pencucian uang Yenti Garnasih dari Universitas Trisakti dan pakar hukum
pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir, tindak
pidana pencucian uang hanya bisa ditetapkan setelah ada bukti atas tindak
pidana asal (predicate crimes). Logikanya, dugaan pencucian uang oleh
Sarwono cs bisa dibuktikan jika tindak pidana dalam kasus Century sudah
ditetapkan dalam putusan pengadilan.
Dari
transaksi dengan PT GNU maka sejak 29 April 2004, Yayasan Fatmawati telah
sepenuhnya menyerahkan kepemilikan hak atas tanah seluas 22,8 hektare yang
tercantum dalam Sertifikat Hak Pakai Nomor 82/Cilandak Barat. Bukti kepemilikan
itu dalam bentuk lima sertifikat yang dititipkan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan akibat adanya persoalan hukum yang berakhir damai antara PT GNU dengan
Yayasan Fatmawati.
Lebih
parahnya lagi, kata kuasa hukum PT GNU Muhammad Nasihan, pihak Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Selatan terkesan arogan dan seakan-akan melampui
kewenangannya karena sudah tiga kali selama Januari 2013 ini berupaya
menyerahkan sertifikat yang dititipkan tersebut kepada pihak PT Mekaelsa yang
dinilai Muhammad sebagai "mafia perampok aset negara" tanpa
dasar hukum yang kuat. “Bahkan, hari ini (Senin, 28/1) pun PN Jakarta Selatan
tengah memaksakan untuk menyerahkan sertifikat tersebut kepada para mafia
tersebut,” tegas seorang keluarga korban.
Sarwono
cs memang menjadi korban kriminalisasi yang dimainkan para mafia tanah dengan
memanfaatkan isu Bank Century. Dalam beberapa kesempatan, Menteri Perdagangan
Gita Wirjawan angkat bicara terkait dugaan keterlibatan dirinya dalam kasus
dana talangan Bank Century, seperti yang dicetuskan anggota Tim Pengawasan
(Timwas) Kasus Century DPR.
Gita
menegaskan, perusahaan afiliasi Ancora tidak menerima dana apapun terkait dana
Bank Century. Justru tudingan itu dibuat karena ada pihak dengan “kekuatan
besar” ingin merebut lahan milik Ancora Land yang cukup strategis tersebut.
Kepolisian
dan sejumlah kalangan anggota Timwas Kasus Century pun gegabah seakan
mendapatkan amunisi alias bukti baru untuk mengangkat lagi kasus Century.
Para korban kriminalisasi tersebut menduga kuat bahwa semua permainan ini dimotori
seorang bos mafia tanah alias ST yang dikenal bisa “menyetir” sejumlah pejabat
kepolisian dan penegak hukum lainnya. “Jadi, urusan makelar dan mafia tanah ini
tidak mudah karena sejumlah jajaran penegak hukum dan birokrat sudah bisa
disetir. Wajar saja jika seorang Presiden SBY pun akhirnya mengeluh,” kata
Taslim yang dikenal dekat dengan Gus Dur ini.
Kartel
dan mafia tanah memang tidak mungkin hilang dalam sekejap. Namun, jika seorang
Presiden SBY saja nyaris tidak berdaya, berarti tidak ada lagi orang “kuat”
yang bisa berhadapan dengan para pemain kartel dan mafia tanah. Apalagi,
seorang Gita Wirjawan yang berhadapan langsung dengan para kartel dan para
mafia tersebut. Atau jangan-jangan negeri ini harus dipimpin oleh para boneka
dimana sebagian besar rakyat Indonesia mau memberi tempat khusus bagi para
kartel dan mafia tersebut. Mungkin itulah yang membuat kartel dan mafia bisa
bertahan hingga saat ini. (***)