Selasa, 11 Juni 2013

Tiga Terdakwa Sengketa Tanah Fatmawati Divonis Bebas

Jakarta, GATRAnews - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan Raden Mas Johanes Sarwono, Stefanus Farok Nurtjahja, dan Umar Muchsin, dari semua dakwaan jaksa penuntut umum dalam kasus sengketa penjualan tanah Yayasan Fatmawati.

"Menyatakan terdakwa Raden Mas Johanes Sarwono, Stefabus Farok Nurtjahja, dan Umar Muchsin tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU). Akan tetapi perbuatan itu bukan perbuatan tindak pidana," kata Kepala PN Jakpus Muhammad Asikin, dalam amar putusan yang diputus hakim ketua Bagus Irawan di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (10/6).

Karena ketiganya tidak terbukti melakukan yang dituduhkan JPU, ucap Asikin, maka majelis hakim menyatakan ketiga terdakwa lepas dari segala tuntutan JPU dan memerintahkan JPU memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya.

"Memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan. Memerintahkan agar barang bukti bahwa yang disita dari Indira Mayasari dalam perkara Toto Kuncoro berupa uang 20 miliar dari CIMB Jakpus atas nama Yayasan Fatmawati, dikembalikan ke Yayasan Fatmawati," tandasnya.

Muhammad Asikin yang menggantikan Bagus Irawan tersebut langsung menanyakan sikap JPU atas putusan bebas ketiga terdaka itu. "Kami pikir-pikir yang mulia," jawa JPU Mustofa yang menuntut ketiga terdakwa masing-masing 7 tahun penjara.

Sedangkan kuasa hukum ketiga terdakwa yang dikomandani Hermawi F Taslim, langsung menerima vonis bebas terhadap ketiga kliennya itu. "Tidak ada tanggapan, kami menerima yang mulia," jawab Hermawi Taslim.

Usai persidangan Hermawi Taslim menjelaskan, dari vonis bebas majelis hakim tersebut, ada tiga poin yang menjadi fokus kuasa hukum, pertama; terutama bukti uang sebesar Rp 20 miliar yang diajukan JPU yang diista dari rekening Yayasan Fatmawati di Bank CIMB Niaga Cabang Gajah Mada, Jakarta, jelas tidak benar.

"Karena, PT GNU setor ke Yayasan Fatmawati di CIMB Niaga Cabang Paletehan dan sudah habis dipakai untuk membangun sejumlah bangunan dan operasional Rumah Sakit Fatmawati sebagai persyaratan terhadap Depkes. Dan barang bukti itu tidak bisa diganti, kalau habis tidak bisa diganti. Ini berarti barang buktinya abal-abal," tandas Hermawi Taslim.

Kedua, lanjut dia, semua tindakan dan langkah yang dilakukan ketiga kliennya, ada basis perjanjian perdatanya. "Dan ketiga, sesuai saksi ahli dari Jember, keberadaan PPATK mutlak, jadi semua perkara pencucian uang, harus ada analisis keuangan dari PPATK. Sementara di kasus ini, tidak ada, dan arus uang tidak bisa lihat, karena mereka (penyidik dan JPU) tidak punya akses, karena yang punya akses ini PPATK," paparnya.

Atas putusan ini, ucap Hermawi Taslim, maka urusan dengan Departemen kesehatan sudah selesai dan Yayasan Fatmawati tinggal menunggu surat pelepasan aset yang dikeluarkan Departemen Keuangan.

"Surat pelepasan aset dari Depkeu diberikan kepada Depkes, kemudian dari Depkes diberikan kepada PT GNU. Atas dasar surat itu, PT GNU akan melunasi pembelian itu (tanah) apabila ada surat pelepasa aset dari Depkes," ujarnya.

Akibat dari putusan ini, lanjutnya, hubungan perdata PT GNU dengan Yayasan Fatmawati terus berlangsung. GNU akan melunasi semua kewajibannya, yakni membayar sejumlah uang yang belum dilunasi karena adanya syarat perjanjian yang menyebutkan, uang tersebut baru dibayarkan ke Yayasan Fatmawati jika Yayasan Fatmawati sudah menyerahkan surat pelepasan asetnya.

"Jadi, alasan mereka (Fatmawati), bahwa PT GNU oneprestasi dan Yayasan Fatawati menjalin kerjasama dengan Mega Elas, itu keliru. Karena bayar sesuai waktunya itu, bila surat pelepasan aset sudah ada. Akibat lain, semua hubungan hukum dengan pihak lain, sepenjang menyangkut tanah, itu batal demi hukum. Jadi Yayasan Fatmawati perjajian dengan Mega Elsa itu selesaikan saja berdua," bebernya.

Selain karena bukti abal-abal, tandas Hermawi Taslim, 5 saksi dalam perkara ini mencabut BAP polisi, karena mereka disodori pemeriksaan BAP-nya saat diperiksa untuk Toto Kuncoro. "Kalau Toto dihukum, karena Toto pinjam dari Robet Tantular, ada dana Antaboga-nya, dia (Toto) patut mengetahui, karena pinjam dari Robet Tantular dan perjanjiannya di bawah tangan," tandasnya.
Sedangkan Raden Mas Johanes Sarwono, Stefabus Farok Nurtjahja, dan Umar Muchsin
yang menjadi pihak kuasa Yayasan Fatmawati untuk mencarikan investasi dan menjual tanah, tidak pernah mengenal Robet Tantular. Selain itu, Toto Kuncoro juga tidak perrnah memperkenalkan Robet Tantular kepada ketiganya.

"Toto juga tidak beritahu uang ini dari Robet Tantular. Jadi, unsur patut mengetahuinya tidak ada sama sekali, tidak kena," pungkasnya.

Perlu diketahui, dalam kasus sengkarut tanah Yayasan Fatmawati ini, jaksa penuntut umum mendakwa Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain itu, Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Atas dakwaan tersebut Hermawi Taslim menilai, dakwaan tersebut tidak cermat, sehingga ia yakin kliennya dibebaskan dari semua tuntutan. Pasalnya, selain dakwaan jaksa dinilai lemah dan tanpa pokok perkara yang jelas, barang bukti yang disita, yakni uang sebesar Rp 20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati, diduga merupakan bukti yang telah direkayasa, alias bukti palsu.

Menurutnya, tudingan itu dilontarkan, karena menurut keterangan beberapa orang saksi saat diperiksa penyidik Polri, dana sebesar itu telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. "Di antaranya, berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Yayasan Fatmawati, Mutia Prihatini. Dia menyebutkan, dana tersebut sudah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. Jadi bagaimana bisa menyita uang yang sudah habis dibelanjakan?" pungkasnya. (IS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar