Senin, 28 Januari 2013

Eksekusi Tanpa Dasar Hukum, Ketua PN Jaksel Dinilai Arogan


Logo Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (ilustrasi). (foto: berita99.com)Kehadiran Sui Teng di PN Jaksel pada Jumat (25/1) lalu patut dipertanyakan.
JAKARTA, Jaringnews.com - Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dinilai mencoba memaksakan eksekusi penyerahan tanah yang tercantum dalam Sertifikat Hak Pakai No. 82/Cilandak Barat, atas nama Departemen Kesehatan (Depkes) kepada Yayasan Fatmawati, Jumat (25/1) lalu. Padahal, penyerahan itu seharusnya dibarengi dengan penyerahan lima sertifikat Hak Pakai atas sebidang tanah seluas 13.524 m2 di daerah Ciputat, Tangerang, yang seyogyanya menjadi kewajiban Yayasan Fatmawati kepada Depkes.

Sekedar catatan, eksekusi ini merupakan muara dari sengketa Yayasan Fatmawati dengan Depkes di tahun 1999, di atas lahan berdirinya Rumah Sakit Fatmawati saat ini.  Yayasan Fatmawati akhirnya memenangkan gugatannya ke Depkes sampai ke tingkat kasasi Mahkamah Agung, yang menghukum Depkes membayar ganti rugi sebesar Rp 75 miliar kepada yayasan.

Keduanya pihak akhirnya memilih berdamai, yang dituangkan dalam akta perdamaian Nomor 3 Tanggal 13 Desember Tahun 2000, dibuat di hadapan Felix FX Hardojo, notaris di Jakarta. Perdamaian itu mensyaratkan empat hal. Pertama, Depkes membayar tunai Rp 25 miliar. Kedua, sisanya Rp 50 miliar dikompensasi dengan tanah seluas 22,8 hektar yang merupakan bagian dari tanah sertifikat No. 82/Cilandak Barat. Ketiga,  Yayasan Fatmawati berkewajiban membangun infrastruktur rumah sakit semisal asrama perawat, kamar mayat, rumah karyawan dan membangun jalan di lingkungan rumah sakit. Keempat, hak atas tanah dalam sertifikat Nomor 82 seluas 22,8 hektar yang saat ini menjadi Lapangan Golf Fatmawati, akan diberikan kepada Yayasan Fatmawati apabila sudah memenuhi kewajibannya membangun infrastruktur rumah sakit tersebut.

Karena tidak cukup dana untuk membangun infrastruktur rumah sakit, Yayasan Fatmawati pun bernisiatif menjual tanah seluas 22,8 hektar itu Kepada PT Graha Nusa Utama (PT GNU). Selain telah membayar Rp 65 miliar kepada Yayasan Fatmawati, PT GNU juga berkewajiban membangun infrastuktur rumah sakit, sebagaimana yang tertuang dalam akta perdamaian Nomor 3 Tahun 2000 itu.

Masalah kemudian timbul ketika Yayasan Fatmawati menjual kembali tanah seluas 22,8 hektar itu kepada PT Meka Elsa (PT ME). Padahal PT GNU telah melakukan pembayaran tunai Rp 65 miliar kepada pihak Yayasan Fatmawati.

“Jelas, bahwa PT ME dalam hal ini adalah pembeli ilegal,” kata Misrad, anggota kuasa hukum PT GNU, di Jakarta, Minggu (27/1).

Misrad menduga, PT ME lah pihak yang mendorong Ketua PN Jaksel untuk merampas tanah negara yang seharusnya menjadi hak PT GNU. Selain arogan, sambung Misrad, Ketua PN Jaksel juga sudah melampaui kewenangannya dengan ngotot melakukan eksekusi penyerahan sertifikat kepada Yayasan Fatmawati.

Tak cukup sampai di situ, Misrad mengungkapkan bahwa ada dua surat Kejaksaan Agung tertanggal 3 dan 9 Januari 2012 sebagai pengacara negara atas nama Depkes kepada Ketua PN Jaksel. Isi surat itu menyebutkan, Jaksa Pengacara Negara (JPN) melarang keputusan Ketua PN Jaksel untuk mengeksekusi penyerahan tanah No. 82/Cilandak barat itu kepada Yayasan Fatmawati.

"Alasannya, selain melampaui kewenangan, menurut JPN, eksekusi itu tidak ada tercantum dalam putusan perkara gugatan Yayasan Fatmawati ke Depkes di PN Jaksel dengan  Nomor 1115/Pdt.G/2008/PN.Jaksel. Kemudian, eksekusi itu juga akan merugikan negara sebagai pemegang hak tanah yang saat ini dijadikan sebagai lapangan golf di sebelah RS Fatmawati Jakarta Selatan," beber Misrad.

Nah, Jumat (25/1) lalu, hadir dalam prosesi eksekusi itu dari pihak Yayasan Fatmawati, kuasa hukum PT GNU dan pihak Depkes. Namun, Ketua PN Jaksel tak jua muncul. Novran, Ketua Panitera PN Jaksel yang tampil hadir mewakili Ketua PN Jaksel. Anehnya, Sui Teng alias Cahyadi Kumala dari PT ME terlihat hadir bersama delapan orang preman yang mengawalnya. Pria bermata sipit itu terlihat mondar-mandir di lantai dasar menunggu hasil proses eksekusi di lantai dua PN Jaksel.

Menurut Misrad, meski tidak turut hadir dalam ruangan, kehadiran Sui Teng di PN Jaksel bukanlah sebagai pihak yang diundang dalam proses eksekusi itu. Kata dia, hal ini patut dipertanyakan.

“Dia bukan sebagai pihak yang diundang, ada apa dengan kehadiran mereka?” katanya.

“Dengan kehadiran Sui Teng ini, jelas menggambarkan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang mencoba mengintervensi pelaksanaan eksekusi ini. Kami akan tetap melakukan upaya penolakan keras atas pelaksanaan eksekusi itu," tegas Misrad.

Hari itu juga, JPN langsung mendaftarkan gugatan perlawanan terhadap keputusan Ketua PN Jaksel yang akan mengeksekusi penyerahan sertifikat itu. Pihak Depkes juga berencana akan menarik sertifikat itu dari tangan PN Jaksel.

Beruntung, setelah mendapat penolakan keras dari pihak PT GNU dan JPN, eksekusi itu akhirnya ditunda hingga Senin (28/1) hari ini.

"Ketidakhadiran Ketua PN Jaksel dalam proses eksekusi itu menandakan bahwa ada keraguan-raguan atas kekeliruannya dalam keputusan eksekusi itu. Sehingga eksekusi pun mengalami penundaan," ujar Misrad.

Sebelumnya, ungkap Misrad, justru pihaknyalah yang membuat surat permohonan ke Ketua PN Jaksel tentang status tanah seluas 22,8 hektar itu. “Lantas, mengapa Ketua PN Jaksel mau menyerahkan itu ke Yayasan Fatmawati?” tanya Misrad. "Senin ini, kami dan JPN  akan kembali melakukan penolakan keras atas eksekusi yang akan kembali digelar di PN Jaksel," tandas dia.

Sekedar catatan, Sui Teng merupakan kolega pemilik kerajaan bisnis Grup Artha Graha, Tommy Winata. Ia diketahui telah lama malang-melintang berkecimpung di usaha pembebasan tanah dan properti.

Sumber : http://jaringnews.com/keadilan/umum/32952/eksekusi-tanpa-dasar-hukum-ketua-pn-jaksel-dinilai-arogan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar