Rabu, 27 Februari 2013

Penerapan Pasal TPPU Sarwono Cs Dinilai Keliru

JAKARTA - Penerapan pasal pencucian uang yang disangkakan kepada terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin dalam kasus sengkarut kasus penjualan tanah Yayasan Fatmawati dipertanyakan.

Para terdakwa saat ini kasusnya tengah berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Ini tidak ada perkara pokoknya. Ini transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang," kata pakar hukum perdata, Hariman di Jakarta, Selasa (26/2/2013).

Hariman menuturkan, sebelum jaksa menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang kepada para terdakwa harus ada putusan pengadilan terlebih dahulu.

"Artinya, uang ini dari mana dan harus ada putusan pengadilan, baru diterapkan pasal pencucian uang jika telah terbukti. Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Itu harus sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," sesalnya.

Dia menambahkan, penjualan tanah Yayasan Fatmawati itu merupakan jual beli biasa, sehingga tidak ada kewajiban pihak penjual, yang mendapat kuasa dari Yayasan Fatmawati untuk menjual tanah tersebut. Mereka pun tak punya kewajiban untuk menanyakan dari mana uang yang digunakan untuk membeli tanah tersebut.

"Jadi, kalau kita melakukan jual beli enggak perlu mengetahui uang itu, kecuali petugas PPATK atau petugas yang berhak menanyakan. Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13 UU No 20 KUH Perdata," ungkap Hariman.

Sementara itu, kuasa hukum Yohanes Sarwono cs, Hermawi Taslim mengatakan, kliennya tidak melakukan penipuan sebagaimana yang dituduhkan. Selaku perantara yang diberi kuasa, mereka tidak menggelapkan uang karena dana dari pembeli itu diserahkan ke pihak yayasan.

"Jadi apa dan siapa yang ditipu dan apa yang digelapkan? Uang dari PT GNU, itu yang menerima Yayasan Fatmawati," tegasnya.

Sekadar diketahui, dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, para terdakwa  didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Barang bukti berupa uang sebesar Rp20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati juga telah disita.

Sumber : http://news.okezone.com/read/2013/02/26/339/768043/penerapan-pasal-tppu-sarwono-cs-dinilai-keliru#sthash.ce17cvMc.dpuf

Kasus Yayasan Fatmawati Bukan Pencucian Uang




Skalanews - Pakar Perdata dari kantor pengacara Yusril Ihza Mahendra, Hariman menilai penerapan pasal pencucian uang yang disangkakan kepada tiga terdakwa Yayasan Fatmawati yakni Yohanes Sarwono, Stevanus Farok dan Umar Muchsin tidaklah tepat. 

Pasalnya yang terjadi bukanlah pencucian uang dari terdakwa Bank Century, Robert Tantular kepada ketiga terdakwa, namun terkait jual beli tanah Yayasan Fatmawati. 

"Ini tidak ada perkara pokoknya. Ini transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang," kata Hariman usai persidangan lanjutan ketiga terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (26/2)

Menurut Hariman, sebelum Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat ketiganya dengan pasal pencucian uang, seharusnya dibuktikan terlebih bahwa uang sebesar Rp20 miliar yang diterima Yayasan Fatmawati itu berasal dari hasil tindak pidana kejahatan. 

"Artinya, uang ini dari mana dan harus ada putusan pengadilan, baru diterapkan pasal pencucian uang jika telah terbukti. Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Itu harus sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," jelasnya.

Selain itu, yang terjadi di kasus Yayasan Fatmawati sebenarnya bukannya gelontoran dana dari Robert kepada tiga terdakwa, tapi hanyalah jual beli tanah biasa.

"Itu transaksi jual beli biasa, si penjual tidak perlu mengetahui asal usul uang si pembeli, itu merupakan tugas aparat. Jadi, kalau kita melakukan jual beli, nggak perlu mengetahui uang itu, kecuali petugas PPATK atau petugas yang berhak menanyakan. Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13 UU No 20 KUH Perdata," paparnya.

Dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, oleh jaksa penuntut umum Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
 
Selain itu, Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana. 

Atas dakwaan tersebut kubu terdakwa menilai, dakwaan JPU tersebut tidak cermat. Pasalnya, selain dakwaan jaksa dinilai lemah dan tanpa pokok perkara yang jelas, barang bukti yang disita, yakni uang sebesar Rp20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati, diduga merupakan bukti yang telah direkayasa, alias bukti palsu.

Sementara itu sidang kasus ini oleh Majelis Hakim PN Pusat yang diketuai Hakim Bagus Irawan diputuskan untuk ditunda, pasalnya salah satu terdakwa yakni Sarwono masih dirawat di Rumah Sakit Husada akibat terserang stroke. (frida astuti/bus)

Sumber : http://skalanews.com/news/detail/139113/kasus-yayasan-fatmawati-bukan-pencucian-uang

PN Jakpus Tolak Eksepsi Terdakwa Yayasan Fatmawati


Headline
Foto : ilustrasi




INILAH.COM, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum tiga terdakwa kasus dugaan penipuan dan penggelapan terkait sengkarut tanah Yayasan Fatmawati. Atas dasar itu, kuasa hukum langsung menyatakan akan mengajukan keberatan.

"Menolak kebertan-keberatan atau eksepsi kuasa hukum, serta dakwaan sah menurut hukum. Dakwaan sudah lengkap dan cermat. Atas putusan ini, kuasa hukum bisa ajukan keberatan, tapi tidak ada batas waktunya, saya perintahkan JPU untuk melanjutkan persidangan," kata Ketua Majelis Hakim PN Jakpus, Bagus Irawan saat membacakan putusan sela, Selasa, (19/2/2013).

Menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum Yohanes Sarwono cs, Haryo Budi Wibowo langsung memutuskan akan melayangkan gugatan.

"Segera mungkin kami akan mengajukan keberatan, meski perkaranya tetap jalan," kata Haryo.

Setelah persidangan, Haryo menerangkan, pihaknya akan melayangkan keberatan tersebut pasalnya putusan ini dinilai tidak sesuai beberapa fakta yang dijadikan dalil eksepsi, di antaranya, mengenai kompetensi relatif.

"Yang akan kami ajukan yakni kompetensi relatif. Ini kan lokusnya di Selatan, kenapa disidang di Pusat, sedangkan asasnya itu mutlak lokus. Apabila lokusnya tidak memungkinkan, baru berkaitan dengan yang lain-lain, saksi dan sebagainya, di persidangan mana yang paling dekat," dalihnya.

Menurutnya, sidang digelar di PN Jakpus karena jaksa tidak bisa dan tidak cermat menentukan lokusnya di mana. Padahal, lokus kejadian ini bukan di PT GNU atau Bank Century, namun di Yayasan Fatmawati yang berlokasi di Jakarta Selatan.

"Lokusnya bukan di PT GNU dan Bank Century, lokusnya itu di Yayasan Fatmawati, yang lokusnya ada di Jaksel," tandasnya.

Keberatan lainya, imbuh Haryo, yakni kompetensi absolut. Menurutnya, perkara ini bukan pengadilan perkara pidana karena ini merupakan hubungan bisnis, sehingga harusnya menjadi sengketa perdata.

"Kenapa kok diartikan pidana, pidananya yang mana? kan pencucian uang itu harus jelas predikat craim-nya yang mana dan segala macam. Uang itu harus dibutikan dulu predikat craim-nya, bahaya nanti, nanti orang punya uang banyak, lupa ingatan, nanti dituduh pencucian uang karena tidak bisa jelaskan uang itu dari mana karena lupa ingatan," paparnya. [gus]

Sumber : http://www.inilah.com/read/detail/1959835/pn-jakpus-tolak-eksepsi-terdakwa-yayasan-fatmawati

Eksepsi Tiga Terdakwa Kasus Fatmawati Ditolak


JAKARTA, suaramerdeka.com - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum tiga terdakwa kasus dugaan penipuan dan penggelapan terkait sengkarut tanah Yayasan Fatmawati. Atas dasar itu, kuasa hukum langsung menyatakan akan mengajukan keberatan. "Menolak kebertan - keberatan atau eksepsi kuasa hukum, serta dakwaan sah menurut hukum. Dakwaan sudah lengkap dan cermat. Atas putusan ini, kuasa hukum bisa ajukan keberatan, tapi tidak ada batas waktunya, saya perintahkan JPU untuk melanjutkan persidangan," kata Ketua Majelis Hakim PN Jakpus, Bagus Irawan saat membacakan putusan sela, Selasa, (19/2). 
 
Menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum Yohanes Sarwono cs, Haryo Budi Wibowo langsung memutuskan akan melayangkan gugatan. "Segera mungkin kami akan mengajukan keberatan, meski perkaranya tetap jalan," kata Haryo.

 
Setelah persidangan, Haryo menerangkan, pihaknya akan melayangkan keberatan tersebut pasalnya putusan ini dinilai tidak sesuai beberapa fakta yang dijadikan dalil eksepsi, di antaranya, mengenai kompetensi relatif. "Yang akan kami ajukan yakni kompetensi relatif. Ini kan lokusnya di Selatan, kenapa disidang di Pusat, sedangkan asasnya itu mutlak lokus. Apabila lokusnya tidak memungkinkan, baru berkaitan dengan yang lain-lain, saksi dan sebagainya, di persidangan mana yang paling dekat," dalihnya.


Perkara Pokok Kasus Fatmawati Dipertanyakan


JAKARTA, suaramerdeka.com - Pakar perdata dari kantor pengacara Yusril Ihza Mahendra, Hariman menilai, penerapan pasal pencucian uang yang disangkakan kepada terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin dalam sengkarut kasus penjualan tanah Yayasan Fatmawati yang perkaranya tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanpa perkara pokok. 

"Ini tidak ada perkara pokoknya. Ini transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang," kata Hariman saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, (26/2).

Menurutnya, sebelum jaksa dapat menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang kepada tiga terdakwa tersebut, maka harus ada putusan pengadilan, bahwa uang sebesar Rp 20 milyar yang diterima Yayasan Fatmawati itu berasal dari tindak pidana.

"Artinya, uang ini dari mana dan harus ada putusan pengadilan, baru diterapkan pasal pencucian uang jika telah terbukti. Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Itu harus sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," tandasnya.
Hariman juga menilai, penjualan tanah Yayasan Fatmawati itu merupakan jual beli biasa, sehingga tidak ada kewajiban pihak penjual, yakni Yohanes Sarwono cs yang mendapat kuasa dari Yayasan Fatmawati untuk menjual tanah tersebut, tidak mempuanyai kewajiban untuk menanyakan dari mana uang yang digunakan untuk membeli tanah tersebut.

"Itu transaksi jual beli biasa, si penjual tidak perlu mengetahui asal usul uang si pembeli, itu merupakan tugas petugas. Jadi, kalau kita melakukan jual beli, gak perlu mengetahui uang itu, kecuali petugas PPATK atau petugas yang berhak menanyakan. Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13 UU No 20 KUH Perdata," bebernya.

Kuasa hukum Yohanes Sarwono cs, Hermawi Taslim menegaskan, kliennya tidak melakukan penipuan sebagamana yang dituduhkan. Sebagai pihak perantara yang diberikuasa, mereka tidak menggelapkan uang karena dana dari pembeli itu diserahkan ke pihak yayasan.

"Jadi apa dan siapa yang ditipu dan apa yang digelapkan? Uang dari PT GNU, itu yang menerima Yayasan Fatmawati," tegasnya ditemui usai persidangan di PN Jakpus yang terpaksa ditunda majelis hakim pimpinan Bagus Irawan karena terdakwa Sarwono masih dirawat di Rumah Sakit Husada akibat terserang stroke.

Dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, oleh jaksa penuntut umum Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain itu, Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Atas dakwaan tersebut Hermawi menilai, dakwaan tersebut tidak cermat, sehingga ia yakin kliennya dibebaskan dari semua tuntutan. Pasalnya, selain dakwaan jaksa dinilai lemah dan tanpa pokok perkara yang jelas, barang bukti yang disita, yakni uang sebesar Rp 20 milyar dari rekening Yayasan Fatmawati, diduga merupakan bukti yang telah direkayasa, alias bukti palsu.

Menurutnya, tudingan itu dilontarkan, karena menurut keterangan beberapa orang saksi saat diperiksa penyidik Polri, dana sebesar itu telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati."Di antaranya, berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Yayasan Fatmawati, Mutia Prihatini. Dia menyebutkan, dana tersebut sudah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. Jadi bagaimana bisa menyita uang yang sudah habis dibelanjakan?," ujarnya.

Eksepsi Ditolak, Pengacara Terdakwa Yayasan Fatmawati Keberatan


Eksepsi Ditolak, Pengacara Terdakwa Yayasan Fatmawati Keberatan
Liputan6.com, Jakarta : Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum 3 terdakwa kasus dugaan penipuan dan penggelapan terkait sengkarut tanah Yayasan Fatmawati. Ketiga tersangka itu yakni Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin.
"Menolak keberatan-keberatan atau eksepsi kuasa hukum, serta dakwaan sah menurut hukum. Dakwaan sudah lengkap dan cermat," kata Ketua Majelis Hakim, Bagus Irawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (19/2/2013).
Atas sikap itu, majelis hakim yang dipimpin Bagus dalam agenda pembacaan putusan sela, meminta kuasa hukum terdakwa dapat langsung menyatakan akan mengajukan keberatan. "Atas putusan ini, kuasa hukum bisa ajukan keberatan, tapi tidak ada batas waktunya, saya perintahkan JPU untuk melanjutkan persidangan," ucapnya.
Menanggapi itu, Pengacara Yohanes Sarwono cs, Haryo Budi Wibowo tanpa basa-basi segera akan mengajukan keberatan, meski perkaranya tetap jalan. Sebab putusan ini dinilai tidak sesuai beberapa fakta yang dijadikan dalil eksepsi, di antaranya, mengenai kompetensi relatif.
"Yang akan kami ajukan yakni kompetensi relatif. Ini kan lokusnya di Selatan, kenapa disidang di Pusat, sedangkan asasnya itu mutlak lokus. Apabila lokusnya tidak memungkinkan, baru berkaitan dengan yang lain-lain, saksi dan sebagainya, di persidangan mana yang paling dekat," dalihnya.
Apalagi, lanjutnya, jaksa tidak bisa dan tidak cermat menentukan lokus delictinya (tempat kejadian) di mana. Padahal, kejadian itu bukan di PT GNU atau Bank Century, namun di Yayasan Fatmawati yang berlokasi di Jakarta Selatan.
Keberatan lainya, imbuh Haryo, yakni kompetensi absolut. Pasalnya perkara pidana karena kasus ini merupakan hubungan bisnis, sehingga harusnya menjadi sengketa perdata.
"Kenapa kok diartikan pidana, pidananya yang mana? Kan pencucian uang itu harus jelas predikat craim-nya yang mana dan segala macam. Uang itu harus dibutikan dulu predikat craim-nya, bahaya nanti, nanti orang punya uang banyak, lupa ingatan, nanti dituduh pencucian uang karena tidak bisa jelaskan uang itu dari mana karena lupa ingatan," pungkasnya. (Mut)

Pengamat: Kasus Yayasan Fatmawati Bukan Pencucian Uang


Pengamat: Kasus Yayasan Fatmawati Bukan Pencucian Uang
Liputan6.com, Jakarta : Pakar hukum Perdata Hariman menyatakan, penerapan pasal pencucian uang, yang disangkakan kepada 3 terdakwa, yakni Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin tidaklah tepat. Kasus itu, menurutnya, bukan kasus pencucian uang dari terdakwa Bank Century, Robert Tantular, melainkan jual beli tanah Yayasan Fatmawati.

"Ini transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang. Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Seharusnya sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," kata Hariman, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (26/2/2013).

Praktisi hukum dari kantor pengacara Ihza & Ihza Law Firm itu menanambahkan, kasus jual-beli tanah merupakan transaksi biasa. Sehingga tidak ada kewajiban pihak penjual, yakni Yohanes Sarwono cs untuk menanyakan dari mana uang yang digunakan untuk membeli tanah tersebut.

"Jadi, kalau kita melakukan jual beli, tidak perlu si pembeli mengetahui asal usul uang itu. Kecuali petugas PPATK atau petugas yang berhak menanyakan. Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13 UU No 20 KUH Perdata," bebernya.

Sementara, Kuasa hukum Yohanes Sarwono cs, Hermawi Taslim menegaskan, kliennya tidak melakukan penipuan sebagamana yang dituduhkan. Sebagai pihak perantara yang diberi kuasa, mereka tidak menggelapkan uang karena dana dari pembeli itu diserahkan ke pihak yayasan.

"Jadi apa dan siapa yang ditipu dan apa yang digelapkan? Uang dari PT GNU itu yang menerima Yayasan Fatmawati," ucap Hermawi.

Dakwaan jaksa tersebut, kata Hermawi, tidak cermat dan lemah, karena tanpa perkara pokok. Sehingga ketiga kliennya dapat dibebaskan dari semua tuntutan.

Apalagi, sambung dia, ada dugaan bahwa barang bukti yang disita berupa uang sebesar Rp 20 Miliar dari rekening Yayasan Fatmawati -- yang merupakan bukti yang telah direkayasa, alias bukti palsu. Hal itu berdasarkan keterangan beberapa orang saksi saat diperiksa penyidik Polri.

"Di antaranya, berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Yayasan Fatmawati, Mutia Prihatini. Dia menyebutkan, dana tersebut sudah habis dibelanjakan. Jadi bagaimana bisa menyita uang yang sudah habis dibelanjakan?," tandas dia.

Seperti diketahui kasus ini tengah disidangkan di PN Jakpus yang diketuai Hakim Bagus Irawan. Dalam sengkarut kasus ini, tim Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan menjerat ketiga terdakwa dengan Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c. Pasal 3 Ayat (1) huruf c. Semuanya berasal dari UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana. (Riz)

Kasus Sengketa Tanah Fatmawati Bukan Money Laundy

INILAH.COM, Jakarta - Penerapan pasal pencucian uang yang disangkakan kepada terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin dinilai tanpa perkara pokok.

Hal ini terkait dalam kasus sengkarut kasus penjualan tanah Yayasan Fatmawati yang perkaranya tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Ini tidak ada perkara pokoknya. Ini transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang," kata pengamat hukum perdata Hariman saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, (26/2/2013).

Menurutnya, sebelum jaksa dapat menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang kepada tiga terdakwa tersebut, maka harus ada putusan pengadilan, bahwa uang sebesar Rp 20 milyar yang diterima Yayasan Fatmawati itu berasal dari tindak pidana kejahatan.

"Artinya, uang ini dari mana dan harus ada putusan pengadilan, baru diterapkan pasal pencucian uang jika telah terbukti. Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Itu harus sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," tandasnya.

Hariman juga menilai, penjualan tanah Yayasan Fatmawati itu merupakan jual beli biasa, sehingga tidak ada kewajiban pihak penjual, yakni Yohanes Sarwono cs yang mendapat kuasa dari Yayasan Fatmawati untuk menjual tanah tersebut, tidak mempunyai kewajiban untuk menanyakan dari mana uang yang digunakan untuk membeli tanah tersebut.

"Itu transaksi jual beli biasa, si penjual tidak perlu mengetahui asal usul uang si pembeli, itu merupakan tugas petugas. Jadi, kalau kita melakukan jual beli, gak perlu mengetahui uang itu, kecuali petugas PPATK atau petugas yang berhak menanyakan. Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13 UU No 20 KUH Perdata," bebernya.

Sementara Kuasa hukum Yohanes Sarwono cs, Hermawi Taslim menegaskan, kliennya tidak melakukan penipuan sebagamana yang dituduhkan. Sebagai pihak perantara yang diberikuasa, mereka tidak menggelapkan uang karena dana dari pembeli itu diserahkan ke pihak yayasan.

"Jadi apa dan siapa yang ditipu dan apa yang digelapkan? Uang dari PT GNU, itu yang menerima Yayasan Fatmawati," tegasnya ditemui usai persidangan di PN Jakpus.

Sebelumnya majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang dipimpin oleh Bagus Irawan terpaksa ditunda karena terdakwa Sarwono masih dirawat di Rumah Sakit Husada akibat terserang stroke.

Dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, oleh jaksa penuntut umum Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain itu, Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Atas dakwaan tersebut Hermawi menilai, dakwaan tersebut tidak cermat, sehingga ia yakin kliennya dibebaskan dari semua tuntutan. Pasalnya, selain dakwaan jaksa dinilai lemah dan tanpa pokok perkara yang jelas, barang bukti yang disita, yakni uang sebesar Rp 20 milyar dari rekening Yayasan Fatmawati, diduga merupakan bukti yang telah direkayasa, alias bukti palsu.

Menurutnya, tudingan itu dilontarkan, karena menurut keterangan beberapa orang saksi saat diperiksa penyidik Polri, dana sebesar itu telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati.

"Di antaranya, berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Yayasan Fatmawati, Mutia Prihatini. Dia menyebutkan, dana tersebut sudah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. Jadi bagaimana bisa menyita uang yang sudah habis dibelanjakan?," pungkasnya.

Sumber : http://nasional.inilah.com/read/detail/1962397/kasus-sengketa-tanah-fatmawati-bukan-money-laundy#.US3ymjBSgnE

Kasus Yayasan Fatmawati Bukan Pencucian Uang



Skalanews - Pakar Perdata dari kantor pengacara Yusril Ihza Mahendra, Hariman menilai penerapan pasal pencucian uang yang disangkakan kepada tiga terdakwa Yayasan Fatmawati yakni Yohanes Sarwono, Stevanus Farok dan Umar Muchsin tidaklah tepat. 

Pasalnya yang terjadi bukanlah pencucian uang dari terdakwa Bank Century, Robert Tantular kepada ketiga terdakwa, namun terkait jual beli tanah Yayasan Fatmawati. 

"Ini tidak ada perkara pokoknya. Ini transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang," kata Hariman usai persidangan lanjutan ketiga terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (26/2)

Menurut Hariman, sebelum Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat ketiganya dengan pasal pencucian uang, seharusnya dibuktikan terlebih bahwa uang sebesar Rp20 miliar yang diterima Yayasan Fatmawati itu berasal dari hasil tindak pidana kejahatan. 

"Artinya, uang ini dari mana dan harus ada putusan pengadilan, baru diterapkan pasal pencucian uang jika telah terbukti. Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Itu harus sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," jelasnya.

Selain itu, yang terjadi di kasus Yayasan Fatmawati sebenarnya bukannya gelontoran dana dari Robert kepada tiga terdakwa, tapi hanyalah jual beli tanah biasa.

"Itu transaksi jual beli biasa, si penjual tidak perlu mengetahui asal usul uang si pembeli, itu merupakan tugas aparat. Jadi, kalau kita melakukan jual beli, nggak perlu mengetahui uang itu, kecuali petugas PPATK atau petugas yang berhak menanyakan. Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13 UU No 20 KUH Perdata," paparnya.

Dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, oleh jaksa penuntut umum Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain itu, Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana. 

Atas dakwaan tersebut kubu terdakwa menilai, dakwaan JPU tersebut tidak cermat. Pasalnya, selain dakwaan jaksa dinilai lemah dan tanpa pokok perkara yang jelas, barang bukti yang disita, yakni uang sebesar Rp20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati, diduga merupakan bukti yang telah direkayasa, alias bukti palsu.

Sementara itu sidang kasus ini oleh Majelis Hakim PN Pusat yang diketuai Hakim Bagus Irawan diputuskan untuk ditunda, pasalnya salah satu terdakwa yakni Sarwono masih dirawat di Rumah Sakit Husada akibat terserang stroke. (frida astuti/bus)

Sumber : http://skalanews.com/news/detail/139113/kasus-yayasan-fatmawati-bukan-pencucian-uang

Penerapan Pasal TPPU Sarwono Cs Dinilai Keliru

JAKARTA - Penerapan pasal pencucian uang yang disangkakan kepada terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin dalam kasus sengkarut kasus penjualan tanah Yayasan Fatmawati dipertanyakan.

Para terdakwa saat ini kasusnya tengah berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Ini tidak ada perkara pokoknya. Ini transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang," kata pakar hukum perdata, Hariman di Jakarta, Selasa (26/2/2013).

Hariman menuturkan, sebelum jaksa menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang kepada para terdakwa harus ada putusan pengadilan terlebih dahulu.

"Artinya, uang ini dari mana dan harus ada putusan pengadilan, baru diterapkan pasal pencucian uang jika telah terbukti. Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Itu harus sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," sesalnya.

Dia menambahkan, penjualan tanah Yayasan Fatmawati itu merupakan jual beli biasa, sehingga tidak ada kewajiban pihak penjual, yang mendapat kuasa dari Yayasan Fatmawati untuk menjual tanah tersebut. Mereka pun tak punya kewajiban untuk menanyakan dari mana uang yang digunakan untuk membeli tanah tersebut.

"Jadi, kalau kita melakukan jual beli enggak perlu mengetahui uang itu, kecuali petugas PPATK atau petugas yang berhak menanyakan. Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13 UU No 20 KUH Perdata," ungkap Hariman.

Sementara itu, kuasa hukum Yohanes Sarwono cs, Hermawi Taslim mengatakan, kliennya tidak melakukan penipuan sebagaimana yang dituduhkan. Selaku perantara yang diberi kuasa, mereka tidak menggelapkan uang karena dana dari pembeli itu diserahkan ke pihak yayasan.

"Jadi apa dan siapa yang ditipu dan apa yang digelapkan? Uang dari PT GNU, itu yang menerima Yayasan Fatmawati," tegasnya.

Sekadar diketahui, dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, para terdakwa  didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Barang bukti berupa uang sebesar Rp20 miliar dari rekening Yayasan Fatmawati juga telah disita.
- See more at: http://news.okezone.com/read/2013/02/26/339/768043/penerapan-pasal-tppu-sarwono-cs-dinilai-keliru#sthash.flj1cYed.dpuf

Aneh, Pasal Pencucian Kasus Tanah Yayasan Fatmawati Tak Ada Pidana Pokoknya

PN JAKPUS/IST

  


RMOL. 
Penerapan pasal pencucian uang yang disangkakan kepada terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin dalam sengkarut kasus penjualan tanah Yayasan Fatmawati dinilai janggal. 

"Ini tidak ada perkara pokoknya. Ini transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang," kata pakar perdata dari kantor pengacara Yusril Ihza Mahendra Hariman saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (26/2).

Menurutnya, sebelum jaksa dapat menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang kepada tiga terdakwa tersebut, maka harus ada putusan pengadilan. 

"Artinya, uang ini dari mana dan harus ada putusan pengadilan, baru diterapkan pasal pencucian uang jika telah terbukti. Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Itu harus sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," katanya.

Hariman juga menilai, penjualan tanah Yayasan Fatmawati itu merupakan jual beli biasa, sehingga tidak ada kewajiban pihak penjual, yakni Yohanes Sarwono cs yang mendapat kuasa dari Yayasan Fatmawati untuk menjual tanah tersebut. 

"Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13 UU Nomor 20 KUH Perdata," bebernya.

Dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, oleh jaksa penuntut umum Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU 15/2002, sebagaimana diubah UU 25/2003 tentang TPPU, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
 
Selain itu, Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU 15/2002, sebagaimana telah diubah UU 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana. [wid]
 

Pasal untuk Yohanes Sarwono Dkk Tak Berperkara Pokok


Jakarta, GATRAnews - Hariman, pengacara dari kantor pengacara Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, penerapan pasal pencucian uang kepada terdakwa Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin, dalam kasus penjualan tanah Yayasan Fatmawati di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanpa perkara pokok.
"Ini tidak ada perkara pokoknya. Ini transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang," kata Hariman saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (26/2).

Menurutnya, sebelum jaksa dapat menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang kepada 3 terdakwa tersebut, maka harus ada putusan pengadilan, bahwa uang sebesar Rp 20 milyar yang diterima Yayasan Fatmawati itu berasal dari tindak pidana kejahatan.

"Artinya, uang ini dari mana dan harus ada putusan pengadilan, baru diterapkan pasal pencucian uang jika telah terbukti. Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Itu harus sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," tandasnya.

Hariman juga menilai, penjualan tanah Yayasan Fatmawati itu merupakan jual beli biasa, sehingga tidak ada kewajiban pihak penjual, yakni Yohanes Sarwono cs yang mendapat kuasa dari Yayasan Fatmawati untuk menjual tanah tersebut, tidak mempuanyai kewajiban untuk menanyakan dari mana uang yang digunakan untuk membeli tanah tersebut.

"Itu transaksi jual beli biasa, si penjual tidak perlu mengetahui asal usul uang si pembeli, itu merupakan tugas petugas. Jadi, kalau kita melakukan jual beli, nggak perlu mengetahui uang itu, kecuali petugas PPATK atau petugas yang berhak menanyakan. Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13 UU No 20 KUH Perdata," bebernya.

Kuasa hukum Yohanes Sarwono dkk, Hermawi Taslim menegaskan, kliennya tidak melakukan penipuan sebagamana yang dituduhkan. Sebagai pihak perantara yang diberikuasa, mereka tidak menggelapkan uang karena dana dari pembeli itu diserahkan ke pihak yayasan.

"Jadi apa dan siapa yang ditipu dan apa yang digelapkan? Uang dari PT GNU, itu yang menerima Yayasan Fatmawati," tegasnya ditemui usai persidangan di PN Jakpus yang terpaksa ditunda majelis hakim pimpinan Bagus Irawan karena terdakwa Sarwono masih dirawat di Rumah Sakit Husada akibat terserang stroke.

Dalam kasus sengketa tanah Yayasan Fatmawati ini, oleh jaksa penuntut umum Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain itu, Yohanes juga didawa Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Atas dakwaan tersebut Hermawi menilai, dakwaan tersebut tidak cermat, sehingga ia yakin kliennya dibebaskan dari semua tuntutan. Pasalnya, selain dakwaan jaksa dinilai lemah dan tanpa pokok perkara yang jelas, barang bukti yang disita, yakni uang sebesar Rp 20 milyar dari rekening Yayasan Fatmawati, diduga merupakan bukti yang telah direkayasa, alias bukti palsu.

Menurutnya, tudingan itu dilontarkan, karena menurut keterangan beberapa orang saksi saat diperiksa penyidik Polri, dana sebesar itu telah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati."Di antaranya, berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Yayasan Fatmawati, Mutia Prihatini. Dia menyebutkan, dana tersebut sudah habis dibelanjakan Yayasan Fatmawati. Jadi bagaimana bisa menyita uang yang sudah habis dibelanjakan?" pungkasnya. (IS)

Sindo No. 50 : 14-20 feb 2013












Jumat, 15 Februari 2013

Berebut Lahan RS. Fatmawati









Berebut Tanah RP 2 Triliun






'Kekuasaan’ Kartel Pangan dan Mafia Tanah


Chairul Tanjung [reuters] Chairul Tanjung [reuters]
Rekomendasi Komisi Ekonomi Nasional (KEN) untuk mengatasi kartel komoditas pangan pada pekan lalu belum menjamin solusi untuk menekan gejolak harga berlebihan. Namun,  rekomendasi itu untuk memperkuat peran pemerintah yang nyaris tak berdaya berhadapan dengan para kartel. Pola yang mirip dan harus diatasi adalah mafia tanah dalam berbagai skala dan modus. Belakangan, isu dana Bank Century pun, ‘ditunggangi’ para mafia tanah. Berikut ulasan wartawan SP Heri Soba.  

Hampir setiap tahun, ketika gejolak harga pangan melonjak tinggi, salah satu sorotan pemerintah dan berbagai kalangan terkait adalah indikasi praktik kartel dalam pasar komoditas pangan. Sorotan akan perlahan mereda ketika harga komoditas pangan beranjak turun.  Indonesia adalah negeri kartel dan mafia. Hampir setiap lini bisnis di negeri ini sudah dicemari praktik tercela itu. Tak mengherankan jika perekonomian nasional terus terdistorsi. Harga barang dan jasa acapkali melejit tanpa sebab yang jelas. Mekanisme pasar kerap lumpuh. Hukum penawaran dan permintaan dibuat tak berdaya.  

Kartel adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan pasal 11 Undang- Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.            

Pekan lalu, Komisi Ekonomi Nasional (KEN) menyoroti secara khusus soal kartel tersebut. Sekalipun hanya memberikan sejumlah rekomendasi untuk mendorong berbagai solusi atas kartel, apa yang dilakukan KEN tersebut patut diberi apresiasi. Apalagi, KEN merupakan lembaga pemerintah yang diisi oleh berbagai kalangan akademisi, profesional, dan pengusaha, yang dipimpin oleh konglomerat Chaerul Tanjung.   

KEN mengadukan praktik kartel lima komoditas pangan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Komoditas tersebut adalah gula, kedelai, beras, jagung, dan daging sapi. Presiden pun telah menginstruksikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa untuk menindaklanjuti rekomendasi KEN tentang kartel pangan.  

Menurut Ketua KEN Chairul Tanjung, praktik kartel telah menyebabkan harga lima komoditas pangan itu cenderung terus naik di dalam negeri. Dia mencontohkan, harga gula pada 2009 masih sekitar Rp 6.300 per kilogram (kg), namun kini berkisar Rp 11.000-13.000 per kg. Padahal, harga gula di pasar internasional hanya sekitar US$ 489,80 per ton atau Rp 4.700 per kg. Hal serupa terjadi pada komoditas kedelai dan daging sapi. Pada 2009, harga daging sapi hanya sekitar Rp 60.000 per kg, sekarang menembus Rp 100.000 per kg. Akibatnya, banyak pedagang bakso harus berhenti berjualan.  

Sejumlah kalangan menilai, keberadaan kartel pangan sangat merugikan konsumen maupun industri pengolahan. Selain menguasai pasar, kelompok kartel terus berupaya mendorong harga dan merusak ketahanan pangan dalam negeri. Melihat keuntungan yang menggiurkan, mereka terus berupaya untuk mengimpor komoditas pangan. Selama Januari-November 2012, data Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan menunjukkan,  Indonesia mengimpor sekitar 16 juta ton komoditas pangan utama dengan total nilai mencapai US$ 8,5 miliar (Rp 81,5 triliun). Rinciannya, nilai impor produk serealia (padi, jagung, beras, dan sorgum) senilai US$ 3,26 miliar, gula US$ 1,46 miliar, susu US$ 945,34 juta, serta kacang-kacangan dan buah US$ 756,27 juta. Sedangkan impor tepung senilai US$ 560,66 juta, sayur US$ 445,74 juta, kopi, teh, dan bumbu US$ 303,72 juta, daging US$ 136,8 juta, serta pangan utama lain US$ 548,05 juta.   

Kartel importir pangan di Indonesia diperkirakan meraup keuntungan Rp 13,5 triliun per tahun. Keuntungan itu berasal dari 15% nilai impor komoditas pangan yang setiap tahun sekitar Rp 90 triliun. Mereka diduga mengendalikan harga dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri seperti gula, kedelai, beras, jagung, dan daging sapi.

Menurut Ketua Dewan Kedelai Nasional Benny Kusbini seperti ditulis SP dan Investor Daily pekan lalu, kegiatan kartel di Indonesia dilakukan eksportir di luar negeri bekerja sama dengan orang Indonesia.  Kartel ini diduga melibatkan oknum pejabat pemerintah, DPR, penegak hukum, dan para politisi.            

Chairul yang mengklain diri sebagai “anak singkong” menjelaskan, struktur pasar komoditas pangan cenderung oligopolistis. Di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut ABCD, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90% perdagangan serealia atau biji-bijian dunia. Kecenderungan yang sama terjadi di pasar domestik. Importir kedelai hanya ada tiga, yakni PT Teluk Intan (menggunakan PT Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill.  

Di industri pakan unggas yang hampir 70% bahan bakunya adalah jagung, menurut Chairul, empat perusahaan terbesar menguasai sekitar 40% pangsa pasar. Sementara itu,  empat produsen gula rafinasi terbesar menguasai 65% pangsa pasar gula rafinasi dan 63% pangsa pasar gula putih.  “Untuk distribusi gula di dalam negeri diduga dikuasai enam orang. Mereka adalah Acuk, Sunhan, Harianto, Yayat, Kurnadi, dan Piko. Sebelumnya, pasar gula ini dikuasai ‘sembilan samurai’,” tutur dia.  

Kartel juga terjadi pada industri gula rafinas yang memperoleh izin impor raw sugar (gula mentah) 3 juta ton setahun yang dikuasai delapan produsen. Bagi sejumlah kalangan, kartel bisa dibenarkan asalkan untuk kepentingan masyarakat. Misalnya, Perum Bulog membeli gula petani dengan harga tinggi dan dijual dengan harga layak.  

Sebenarnya, kasus kartel kedelai yang merebak pada pertengahan 2012 lalu juga sudah masuk dalam agenda Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ketua  KPPU Nawir Messi mengatakan sebagian besar kegiatan kartel pangan yang dilaporkan KEN telah atau masih dalam proses investigasi lembaganya. Untuk menjaga kelangsungan dan kerahasiaan investigasi, perkembangan yang dicapai KPPU tidak pernah diungkapkan. "Jika kemudian KEN melaporkan ke Presiden dan itu dianggap laporan ke KPPU juga, itu tidak menjadi persoalan. Kami akan jalan bersama-sama" kata dia.  

Nawir menegaskan, pihaknya tidak akan melakukan investigasi jika tidak ada indikasi tindakan yang mengarah kartel. Saat ini, KPPU tengah menginvestigasi perdagangan sejumlah produk pangan, seperti kedelai dan daging. “Banyak investigasi KPPU terhadap dugaan praktik kartel tidak pernah dipublikasikan, kemudian akhirnya menjadi kasus dan masuk ke pengadilan. Beberapa contoh kasus di masa lalu adalah kartel minyak goreng dan gula yang dilaporkan KEN,” tambah dia.  

Century dan Mafia Tanah Sebagaimana kartel pangan, praktik mafia tanah juga menjadi batu sandungan yang cukup merepotkan pemerintah. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah dituding tidak berani mengambil terobosan untuk mengatasi kendala infrastruktur yang membuat biaya logistik di Indonesia sangat tinggi dibandingkan sesama negara Asia Tenggara. Investasi pun terhambat untuk menorong pertumbuhan ekonomi. Daripada susah, dipersulit, dan lebih mahal untuk membangun investasi, para pengusaha lebih baik impor saja karena lebih murah dan praktis. Resikonya, aktivitas investasi di berbagai sektor tidak berjalan, banyak devisa terbuang, neraca perdagangan bergerak minus, ekonomi Indonesia pun rapuh.            

Kendala investasi yang dihadapi tersebut persis seperti dampak dari persoalan kartel. Dalam praktik kartel, tingginya keuntungan mendorong impor pangan terus terjadi. Sejumlah negara juga menjual murah residual stock (sisa stok) sehingga bisa dibeli dengan harga murah. Gula impor dari Australia pasti lebih murah dibandingkan harga jual produsen di dalam negerinya. Jadi, untuk apa susah-susah berinvestasi jika lebih untung impor.  

Dalam beberapa kesempatan, pemerintah pusat dan daerah seakan-akan dibuat tak berdaya karena berhadapan dengan mafia tanah tersebut. Pembangunan fasilitas umum, seperti jalan tol, rel kereta api, perluasan bandara, atau berbagai fasilitas lainnya terhambat. Pada Agustus 2012 lalu, dalam rapat sebuah koordinasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun resah dengan ulah para makelar dan mafia tanah tersebut karena berdampak langsung pada laju pertumbuhan ekonomi.  

”Banyak sekali kaum makelar  yang cari manfaat untuk kepentingan pribadi, bukan kepentingan rakyat,” kata Presiden SBY usai rapat koordinasi bidang perhubungan dan pekerjaan umum di kantor Angkasa Pura II di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.   Pernyataan yang sama, ditekankan kembali oleh SBY dalam pidatonya di Istana Negara pada pertengahan Oktober 2012, yang menilai lambatnya pembangunan infrastruktur karena ulah para mafia tanah.  

Dikatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun APBD untuk infrastruktur sering terhambat karena tak mudah bagi pemerintah membebaskan lahan atau tanah. Pemerintah juga berharap tengah menyiapkan peraturan presiden (Perpres) yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sayang, Perpres yang dimaksud belum jelas hingga sekarang sehingga UU pun belum bisa diimplementasikan. Padahal. melalui Perpres tersebut, sejumlah proyek infrastuktur dapat segera berjalan tanpa terkendala pembebasan lahan.    

Dalam rapat koordinasi itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hendarman Supandji juga menyatakan, banyak tanah-tanah rakyat yang dikuasai mafia tanah. Harga yang sudah disepakati pemerintah dan pemilik tanah sering menemui kendala karena adanya pihak ketiga yang mempermainkan harga terlalu tinggi.            

Sebenarnya, ada banyak praktik mafia tanah lain yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pengusaha ‘hitam’ berkedok investor, pejabat pemerintah, dan para penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. Salah satu yang belakangan mulai mencuat adalah kasus tanah milik Yayasan Fatmawati yang dicaplok Kementerian Kesehatan (dulu Departemen Kesehatan/Depkes) pada masa awal Orde Baru. Setelah putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) pada tahun 1999 memenangkan Yayasan Fatmawati, pihak Depkes yang seharusnya membayar ganti rugi Rp 75 miliar, mengajukan jalan tengah alias jalan damai dengan sejumlah persyaratan.  

Pihak yayasan mendapatkan ganti rugi Rp 50 miliar berupa lahan seluas 22,8 hektare (ha) di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, dan persyaratan lainnya dengan membangun sejumlah sarana fasilitas pendukung Rumah Sakit Fatmawati, seperti asrama perawat, kamar mayat, rumah karyawan RS Fatmawati. 

Sejak mengajukan gugatan hingga menang, kemudian melakukan penjualan atas lahan ganti rugi, Yayasan Fatmawati memberikan kuasa resmi kepada Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar Muchsin (Sarwono cs) dengan akte perjanjian.  

Menurut Stefanus, pihaknya menjalankan kuasa sesuai akte notaris dan melakukan transaksi dengan pihak ketiga sejak tahun 2003. Singkat cerita, setelah lahan tersebut dibeli PT Graha Nusa Utama (GNU) yang belakangan mendapatkan suntikan dana dari PT Ancora, milik Gita Wirjawan yang saat ini menjadi Menteri Perdagangan, pihak yayasan justru melanggar kesepakatan dengan menjual lagi lahan yang sama kepada pihak ketiga, yakni PT Mekaelsa. Atas pelanggaran itu, maka pada 16 Januari 2012, Sarwono cs melaporkan Ketua Yayasan Fatmawati dan bendahara/pembina, masing-masing Panji Hari Soehardjo dan Dwi Librianto ke Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri). Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka keterangan palsu akta autentik atau melanggar pasal 266 KUHP dan 385 KUP oleh Mabes Polri.

 “Setelah setahun kami tanyakan lagi status para tersangka tersebut, pihak Mabes Polri hanya mengatakan tengah diproses,” kata Hermawi Taslim, yang menjadi kuasa keluarga Stefanus Farok, di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (16/1).  

Ironisnya, Mabes Polri bukannya memproses Panji dan Dwi, tetapi malah menahan Sarwono cs sebagai tersangka pencucian uang dana Bank Century sebesar Rp 20 miliar yang disetorkan Sarwono cs ke Yayasan Fatmawati. Memang PT GNU pernah meminjam dana dari Robert Tantular (Bank CIC) pada kurun waktu 2003-2005 dan itupun sudah dilunasi. Dalam pembayaran tahapan terakhir, PT GNU mendapatkan pasokan dana dari PT Ancora (Ancora Land). “Mana mungkin transaksi pada 2003-2005 dikaitkan dengan dana Bank Century yang terjadi pada 2008-2009. Bukti Rp 20 miliar yang menjadikan kami tersangka pun dibuat-buat, karena sudah digunakan pihak yayasan untuk membangun sejumlah persyaratan dan fasilitas yang diminta. Dana Rp 20 miliar inilah yang misterius dan dibuat seolah-olah ada pencucian uang,” kata Stefanus.  

Menurut pakar pencucian uang Yenti Garnasih dari Universitas Trisakti dan pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir, tindak pidana pencucian uang hanya bisa ditetapkan setelah ada bukti atas tindak pidana asal (predicate crimes). Logikanya, dugaan pencucian uang  oleh Sarwono cs bisa dibuktikan jika tindak pidana dalam kasus Century sudah ditetapkan dalam putusan pengadilan.  

Dari transaksi dengan PT GNU maka sejak 29 April 2004, Yayasan Fatmawati telah sepenuhnya menyerahkan kepemilikan hak atas tanah seluas 22,8 hektare yang tercantum dalam Sertifikat Hak Pakai Nomor 82/Cilandak Barat. Bukti kepemilikan itu dalam bentuk lima sertifikat yang dititipkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akibat adanya persoalan hukum yang berakhir damai antara PT GNU dengan Yayasan Fatmawati.  

Lebih parahnya lagi, kata kuasa hukum PT GNU Muhammad Nasihan, pihak Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terkesan arogan dan seakan-akan melampui kewenangannya karena sudah tiga kali selama Januari 2013 ini berupaya menyerahkan sertifikat yang dititipkan tersebut kepada pihak PT Mekaelsa yang dinilai Muhammad sebagai  "mafia perampok aset negara" tanpa dasar hukum yang kuat. “Bahkan, hari ini (Senin, 28/1) pun PN Jakarta Selatan tengah memaksakan untuk menyerahkan sertifikat tersebut kepada para mafia tersebut,” tegas seorang keluarga korban.  

Sarwono cs memang menjadi korban kriminalisasi yang dimainkan para mafia tanah dengan memanfaatkan isu Bank Century. Dalam beberapa kesempatan, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan angkat bicara terkait dugaan keterlibatan dirinya dalam kasus dana talangan Bank Century, seperti yang dicetuskan anggota Tim Pengawasan (Timwas) Kasus Century DPR.   Gita menegaskan, perusahaan afiliasi Ancora tidak menerima dana apapun terkait dana Bank Century. Justru tudingan itu dibuat karena ada pihak dengan “kekuatan besar” ingin merebut lahan milik Ancora Land yang cukup strategis tersebut.            

Kepolisian dan sejumlah kalangan anggota Timwas Kasus Century pun gegabah seakan mendapatkan amunisi alias bukti baru untuk mengangkat lagi kasus Century.  Para korban kriminalisasi tersebut menduga kuat bahwa semua permainan ini dimotori seorang bos mafia tanah alias ST yang dikenal bisa “menyetir” sejumlah pejabat kepolisian dan penegak hukum lainnya. “Jadi, urusan makelar dan mafia tanah ini tidak mudah karena sejumlah jajaran penegak hukum dan birokrat sudah bisa disetir. Wajar saja jika seorang Presiden SBY pun akhirnya mengeluh,” kata Taslim yang dikenal dekat dengan Gus Dur ini.  

Kartel dan mafia tanah memang tidak mungkin hilang dalam sekejap. Namun, jika seorang Presiden SBY saja nyaris tidak berdaya, berarti tidak ada lagi orang “kuat” yang bisa berhadapan dengan para pemain kartel dan mafia tanah. Apalagi, seorang Gita Wirjawan yang berhadapan langsung dengan para kartel dan para mafia tersebut. Atau jangan-jangan negeri ini harus dipimpin oleh para boneka dimana sebagian besar rakyat Indonesia mau memberi tempat khusus bagi para kartel dan mafia tersebut. Mungkin itulah yang membuat kartel dan mafia bisa bertahan hingga saat ini. (***)